13 Januari, 2012

Putera Negeri Seribu Jembatan di Negeri Seribu Benteng

Negeri seribu jembatan, merupakan julukan  salah satu  kabupaten yang berada di provinsi Riau, Indonesia . Hal ini dikarenakan banyak sekali terdapat jembatan di negeri ini, yang berfungsi sebagai penghubung jalan. Sebelumnya negeri ini dijuluki Negeri Seribu Parit.  Hal ini  dikarenakan di negeri ini banyak terdapat parit-parit yang sebagian berfungsi sebagai drainase pengairan dan tranfortasi bagi masyarakat yang tinggal di negeri ini, untuk menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lain. Maka, tidak aneh kalau terdapat jembatan dimana-mana. Itulah alasan kenapa akhirnya Negeri Sri Gemilang ini dijuluki Negeri Seribu Jembatan.

Indragiri Hilir, itulah nama resmi kabupaten tersebut. Terletak di pantai Timur pulau Sumatera, merupakan gerbang selatan Propinsi Riau, dengan luas daratan 11.605,97 km² dan peraiaran 7.207 Km² berpenduduk kurang lebih 683.354 jiwa yang terdiri dari berbagai etnis, diantaranya populasi  dengan jumlah yang cukup besar adalah suku Melayu, Jawa; Banjar, Bugis, dan sebagian kecil suku-suku lainnya, dikelilingi perairan berupa sungai-sungai besar dan kecil, parit, rawa-rawa dan laut, secara fisiografis Kabupaten Indragiri Hilir beriklim tropis merupakan sebuah daerah dataran rendah yang terletak diketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut dan dipengaruhi oleh pasang surut.

Itulah sekilas  pendeskripsian tentang kabupaten Indragiri Hilir. Negeri Sri Gemilang, Negeri Seribu Jembatan, yang merupakan tanah kelahiranku. Di sudut  Negeri inilah, aku menghabiskan masa kanak-kanakku. Bermain lumpur, berenang menyeberangi sungai-sungai; pergi menangkap ikan di laut dengan mendayung sampan, memasang jebakan burung di hutan; pergi ke kebun atau ke sawah membantu orang tua, dan berbagai aktifitas lain lumrahnya anak dusun  aku lakoni. Dari sudut Negeri ini pula, aku mulai merajut serta mengukir mimpi-mimpiku. Pendidikan Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), aku selesaikan di sebuah Pesantren yang yang ada di desa tempat aku tinggal bersama kakek-nenekku.

Sejak awal masuk sekolah, aku sudah terbiasa hidup mandiri, jauh dari orang tua dan saudara-saudaraku. Aku lebih banyak tinggal bersama kakek-nenekku di sebuah desa  yang tak jauh dari Pesantren tempatku menimba ilmu agama dan umum. Terkadang, aku juga sering berangkat ke sekolah dari dusun tempat orang tuaku tinggal, walau dengan menempuh perjalanan yang cukup panjang, memakan waktu berjam-jam dengan berjalan kaki serta menelusuri jalan setapak yang berlumpur ketika digilas hujan,  rumput-rumput liar sebahu  menjulur ke bahu jalan yang selalu memandikanku dengan air embun pagi. Namun, bersama teman-temanku dari dusun yang sama atau dari dusun tetangga, kami tetap bersemangat menuju sekolah.

Hal yang sangat berkesan bagiku sampai saat ini, ialah kebersamaan kami ketika berangkat  ke sekolah dulu. Selalu  bersama dalam satu rombongan, saling menunggu ketika ada teman yang terlambat, berangkat ke sekolah dengan canda tawa. Sehingga, jauhnya jarak yang kami tempuh, tak terasa membebani.

Begitulah kami anak-anak dusun yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, yang saat itu sarana serta prasarana transfortasi  sangat tidak memadai. Jangankan motor, sepedapun satu dua orang yang punya. Namun, semua itu tak menyurutkan keinginan kami untuk menghilangkan kebodohan dalam diri kami. Hujan, panas; babi hutan, atau bermacam rintangan dalam perjalanan, tak pernah kami hiraukan, sampai akhirnya pendidikan dasarpun kami selesaikan bersama.

Setelah menamatkan pendidikan dasar, aku kemudian melanjutkan pendidikanku di sekolah atau pesantren yang sama di tingkat Tsanawiyah (SMP). Walaupun, banyak dari teman-temanku yang putus ditengah jalan. Namun, aku tak mau seperti mereka. Kemauanku yang kuat, serta motivasi dari kedua orang tua, menjadikanku terus berjuang walau dengan keadaan ekonomi orang tuaku yang pas-pasan. Kerena aku sangat tau apa yang mereka inginkan dariku. Pengorbanan yang mereka persembahkan untuk membiayai pendidikanku laksana bara yang selalu membakar semangatku dalam meraih mimpi-mimpi, membuat mereka tersenyum bangga padaku.

Masih terekam kuat dalam memoriku,ketika suatu pagi aku ingin berangkat ke sekolah.ketika itu parit yang lebarnya sekitar empat meter penuh oleh air pasang.sedangkan jembatan yang hanya terbuat dari sebatang kayu yang diletakkan dipermukaan parit itu hanyut terbawa arus. parit itu sebenarnya tidak terlalu dalam,tapi bagiku yang saat itu masih kecil tentu aku tidak dapat menyeberanginya.melihat kondisiku itu,ayahku yang mau berangkat ke kebunpun menghampiriku dan menyuruhku melepaskan sepatu serta seragam sekolahku ia menyuruhku memegang dan mengangkat sepatu,seragam serta tas sekolahku setinggi-tingginya. beliau menyuruhku manaiki pundaknya kemudian beliau membawaku menyeberangi parit itu,beliau relakan pakaian beliau basah kuyup hanya demi melihat anaknya tetap bisa pergi ke sekolah hari itu.

Terkadang, ketika aku membutuhkan uang lebih untuk keperluan sekolah, disetiap tahun ajaran baru, untuk membeli buku atau membayar SPP, ayahku yang hanya berprofisi sebagai petani kebun kelapa kopra itu, tak segan-segan mengambil upah kerja dikebun tetangga. Bahkan, sering beliau mengambil upah menebang pohon di hutan. Seolah tak peduli dengan bahaya yang menghadang. Seperti babi hutan, ular besar, bahkan harimau yang sangat ditakuti. Hanya demi beberapa kertas rupiah untuk memenuhi keperluan sekolahku.

Beliau sangat bangga kepadaku. Ia selalu bercerita kepada masyarakat dusun yang ia temui akan prestasiku di sekolah, ketika aku bisa mempersembahkan juara kelas hampir setiap acara pembagian rapor kepadanya. Beliau selalu bilang kepada mereka ” tahun ini anakku juara kelas lagi ”. Ia juga selalu bercerita kepada mereka akan menyekolahkanku sampai sarjana. Padahal, secara kasat mata manalah mungkin ia melakukannya dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan sperti itu. Sedangkan, biaya kuliah sarjana itu tidak murah. Tapi, entahlah. Beliau sangat yakin menyampaikan hal itu. Tanpa terlihat keraguan dalam dirinya. Ternyata miskin harta tak menjadikannya miskin jiwa dan semangat. Ia selalu memberikan wejangan kepadaku, ”Nak, kamu bisa lihat kondisi bapak sekarang? Bapak hanya seorang petani kelapa kopra. Mengambil upah menebang pohon di hutan. Teman sehari-hari bapak adalah kampak dan paran. Kantor bapak hanya kebun dan hutan. Kamu tahu kenapa bapak seperti sekarang? Ini karena pendidikan bapak hanya sampai kelas tiga sekolah dasar. Oleh karena itu, bapak tak mau apa yang terjadi pada bapak sekarang, juga terjadi padamu. Bapak yakin, kamu mampu sampai sarjana. Bapak akan berusaha sekuat yang bapak bisa lakukan. Agar kamu tak seperti bapak. Bapak ingin melihatmu menjadi orang yang sukses. Kerjamu hanya memegang sepatang pena. Temanmu hanya tumpukan kertas-kerta dan  buku-buku tebal dan kantormu di kota. Bukan dihutan seperti bapak sekarang.” Pesan inilah yang selalu membakar semangatku.

Dipertengahan 2005, aku lulus sekolah menengah pertama. Tapi, karena latar belakangku yang Terlahir Sebagai anak dusun. Menjadikanku bak katak dalam tempurung. Tak punya wawasan yang luas tentang kehidupan diluar sana. Jiwa dan alam pikiranku hanya berkutat di dusun dan desa tempat dimana aku tinggal. Jangankan pergi rekreasi ke kota, beberapa dusun tetanggapun tak pernah aku kunjungi. Hal inilah, yang menyebabkan aku pada awalnya tak ada keinginan lain untuk meneruskan pendidikan SMA-ku, kecuali di pesantren tempat aku menyelesaikan dua jenjang pendidikan formalku sebelumnya.

Namun, setelah  mendengar kabar ada beberapa temanku yang meneruskan pendidikan mereka ke pulau Jawa, membuat aku iri. Keinginan seperti merekapun terbit dalam benakku. Tapi, keinginan itu seolah hanya hayalan dalam diriku. Mana mungkin aku bisa seperti mereka. Dari mana aku mendapatkan biaya untuk pergi kesana. Apakah orang tuaku mampu memberikan pesangon setiap bulan untuk biaya pendidikanku di pulau Jawa nanti, jika ku paksakan untuk pergi kesana. Seribu pertanyaan terlintas dalam benakku saat itu. Terlahir sebagai anak yang telah belajar mandiri sejak kecil, aku tak mau membebani orang tuaku. Akhirnya, aku meneruskan pendidikan Menengah Atas di sekolah yang sama. Keinginan merantau ke ranah Jawa pun kusimpan dalam lubuk hati untuk sementara. Namun, rasa optimis bisa mewujudkan impian itu tetap menyala dalam diriku.” apabila kamu memiliki keinginan yang kuat maka bertawakkal-lah kepada allah ”. Dalam doa , kupasrahkan asa itu kepada pemilik takdir kehidupanku, yang apabila ia berkehendak, tak seorangpun mampu menghalanginya. Walaupun, secara kasat mata, aku tak mungkin untuk merealisasikan mimpi itu. Tapi, dalam hati kecilku, aku selau yakin jika Allah merestui mimipi itu, pasti jalan akan terbentang luas di hadapanku. Dari arah mana saja, tak ada yang mustahil bagiNya.

Seiring jarum jam yang terus berputar, mengubah hari menjadi minggu, minggu berganti bulan, bulan berjumpa tahun. Kabar gembira itu datang menemuiku. Ketika itu, aku sedang libur semester genap kelas dua aliyah. Libur itu kugunakan untuk mengambil upah menggarap sawah milik tetangga. Petang itu aku baru saja pulang dari sawah tersebut. Tiba-tiba, adik sepupuku datang ke rumah menghampiriku. Dia katakan , kalau siang tadi, ketika aku di sawah, salah satu ustadz mencariku, tanpa memberi tahu apa maksud beliau.

Keesokan harinya, ustadz yang diceritakan sepupuku tempo hari, berkunjung kerumahku. Ayah menyambutnya dengan ramah. Setelah aku menghampiri dan mencium tangan guruku itu. Kemudian, aku disuruh duduk bersama mereka, di ruang tamu yang hanya beralas tikar lusuh itu. Ternyata, maksud kedatangan beliau adalah untuk mengabarkan kepadaku. Bahwa, aku diangkat anak oleh salah satu pejabat pemerintah  kabupaten, yang merupakan teman dekat ustadzku itu. Kata beliau, pejabat itu ingin menyekolahkanku ke pulau Jawa.

Berita gembira ini, sontak membuat kedua kakiku lemas tak berdaya sesaat. Tubuhku bergetar, menggigil seperti orang kedinginan. Ternyata do’a yang ku panjatkan sejak aku duduk di bangku Tsanawiyah, lima tahun silam, diijabah olehNya. Sungguh dahsyat, sebuah do’a yang dipanjatkan tanpa mengenal lelah dan penuh keyakinan itu. Kini mimpi itu telah hadir di depan mata. Tinggal menunggu keputusanku, apakah aku mau menangkap mimpi itu. Mimpi yang akan membawaku terbang ke angkasa langit biru mengitari dunia.

Sebuah keputusan darikupun ditunggu. Aku yang saat itu telah duduk di kelas dua aliyah, membuatku sedikit bimbang mengambil keputusan. Karena, sebentar lagi aku akan duduk di kelas tiga aliyah. Kelas akhir pendidikanku. Setahun lagi aku akan lulus sebagai alumni pesantren tercinta itu. Namun, karena satu asa untuk membuat kedua orang tuaku tersenyum bangga kepadaku, akupun mengiyakan tawaran tersebut.

Tepat tanggal 20 juli 2007 jum’at sore, aku meninggalkan kampung halaman tercinta, menuju ranah rantau di pulau Jawa. Kini tempurung yang menutupi katak itu sudah dibuka. Sang katak pun dalam kebingungan menatap dunia barunya yang ternyata sangat luas. Sebuah loncatan terjauh dalam hidupku. Awal pengembaraanku menjelajah dunia. Perjalanan itu sangat berkesan bagiku. Bagaimana tidak, aku laksana katak yang kebingungan itu kini menuju ibu kota provinsi dengan perjalanan delapan jam menggunakan mobil yang dulunya tak pernah terlintas dalam benakku. Semuanya serba pertama, pertama kali naik mobil, pertama kali melakukan perjalanan terjauh menuju ibu kota; pertama kali menginap di hotel berbintang, pertama kali naik pesawat. Pokoknya serba pertama. Maklum, anak dusun.

Pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, membuat kebanggaan tersendiri dalam diriku. ”jakarta I’m coming ” ucapku lirih. Perjalanan menuju penginapan  di kota Jakarta memberikan persembahan pemandangan luar biasa kepadaku. Hiruk pikuk kota Jakarta dan gedung-gedung tinggi pencakar langit sekali lagi membangunkan sang katak yang masih dalam kebingungan itu. Ternyata itu Monas, ternyata itu Istiqlal-masjid terbesar di asia tenggara itu, dan ribuan ternyata lainnya. Setelah satu hari aku di salah satu hotel ibu kota, kini aku pindah kesebuah apartemen yang tak jauh dari hotel tersebut.

Setelah hampir satu minggu aku di Jakarta, akupun dihantar melanjutkan perjalan menuju salah satu pesantren modern yang berada di kota Bogor. Tepatnya perbatasan antara Bogor-Sukabumi. Sekitar jam tujuh malam aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di pesantren tercinta itu. Udara dingin khas kota Bogor menyambut kedatanganku. Suasana megah pesantren yang dihiasi indahnya lampu-lampu terang membuatku takjub. Jauh berbeda dengan pesantrenku di dusun dulu. Lalu-lalang santriwan dan santriwati menumbuhkan semangat baruku untuk segera bergabung dengan mereka, menimba ilmu di pesantren itu.

Keesokan harinya, status kesanterianku di pondok itupun dimulai. Hidup dengan penuh disiplin  peraturan, aktivitas yang terjadwal rapi oleh bunyi bel yang menandakan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain full time dua puluh empat jam; berbicara dengan bahasa Arab dan Inggris, berjibaku dengan kitab dan kamus-kamus besar; belajar bagaimana berorganisasi dengan motto”siap memimpin dan dipimpin” dan berbagai aktivitas lain layak seorang santri di pesantren modern menjadi rutinitas harianku. Di pesantren baruku inilah aku banyak belajar tentang makna kehidupan, dan di pesantren ini juga aku mengukir mimpi baru untuk terbang lebih jauh mengejar mimpi keluar negeri. Berbekal keyakinan doaku yang dijawab oleh Allah sampai aku bisa mondok di pulau Jawa ini. Tanpa ragu sedikitpun aku kembali memunajat, mengirim doa kepadaNya agar aku diberi kesempatan sekali lagi untuk meneruskaan pendidikanku  keluar negeri.

Sekali lagi, jarum jam yang berputar cepat telah menghantarkanku di hari yang paling kutunggu selama empat tahun nyantri di kota hujan. Hari itu  tak lain ialah wisuda santri angkatan sepuluh. Tepat pada tanggal 28 mei 2011, aku diwisuda. Pencarian informasi beasiswa keluar negeripun semakin aktif kulakukan. Mulai dari mengirim surat ke beberapa kedutaan besar Negara timur tengah yang ada di Jakarta sampai ikut tes langsung dengan tujuan beberapa Negara yang menyediakan beasiswa ke Negara mereka

Kerja kerasku akhirnya memberikan hasil yang manis, Allah memang maha mendengar. Sekali lagi, doa yang selalu kupanjatkan kehadiratNya dalam setiap sujudku kembali dikabulkan. Satu mimpiku kembali ia restui. Kuliah keluar negeri. Tiga bulan yang lalu aku terbang menuju tanah kelahiran sang pengembara muslim dunia Ibnu Batuthah. Maroko atau Maghribi, Negeri yang disebut Matahari Terbenam yang juga dijuluki Negeri Seribu Benteng. Sungguh dahsyat sebuah mimpi yang selalu disertai dengan kerja keras dan doa yang penuh keyakinan. Oleh kerena itu, teruslah bermimpi setinggi-tingginya, kawan. Karena Allah selalu mendengar mimpi-mimpimu, dan akan merestui satu persatu dari ribuan mimpi itu, jika kau sertai dengan kerja keras dan doa penuh keyakinan kepadanya.


2 komentar:

subhanallah.... amazing kisahnya,,,

syukron atas kesedian berkunjung dan apriasinya mba,,!

Posting Komentar

kritik dan saran yang konstruktif selalu kami tunggu dari para pembaca yang budiman,,,,,!!!