07 Februari, 2013

Merindu Beku


Lembayung senja mengukir mahligai cinta. Raja Siang berarak keperaduan. Ratu Malam hampir selesai berias. Aku menunggunya untuk menemaniku menghabiskan malam ini. Aku mau ia menemaniku menghatamkan satu dua bait syair lagi, agar syair-syair yang mulai ku rajut sore tadi tersulam sempurna.

Si Ratu Malam bertengger anggun di suasana langit sunyi senyap. Bala tentaranya ribuan bintang gemintang menambah sempurna kerajaan langit malam. Singgasana indah, seindah ukiran bait-bait malam itu. 

malam itu aku menulis sebuah puisi sederhana untuk si dia di seberang benua sana, lewat bait-bait romantis itu aku bercerita tentangku yang di perantauan. “Merindu beku itu dilemamaku” ku sampaikan padanya. Ceritaku itu tak berujung. Sama seperti rinduku yang tak pernah berakhir. Merajut episode  demi episode. Mungkin suatu saat menjadi Roman terbaik dunia abad modern ini. Itu hanya sebuah khayalan. Aku sedang meracau. Jangan dipercaya.

Entah kenapa, malam itu cukup menghibur si bujang yang sedang melabuh rindu ini. Mungkin sinar purnama itu yang menjadikan kami seolah-olah sangat dekat. Memandang si purnama yang sungguh menawan.

Lewat bait-bait puisi malam itu, ku bisikkan juga kalimat rindu berkeping rindu. “rinduku tak bertepi. Layaknya Atlantis. Samudera indah nan perkasa. Dekat tempatku melabuh asa saat ini”. kataku lagi pada bait-bait syair berikutnya.

Sayup-sayup kudengar sang Ratu Malam menyapaku. “Hai, sedang apa disana. Apa yang kau tulis dalam lembaran-lembaran kertas putihmu itu”. Agak sedikit kaku dan malu, aku menjawab. “Aku sedang membuat puisi rindu untuknya yang di seberang sana. Rindu yang memasungku berhari-hari ini. Rindu yang membuat hari-hariku semakin panjang. Membuat malam-malamku seolah tak mau berjumpa pagi. Membuat tidurku selalu mengigau namanya. Bahkan, membuat tubuhku tak mampu berdiri tegak. Derita separuh jiwa berada di seberang ”.

Dengan penuh senyum, sang Ratu Malam menggodaku. “ oh, indah sekali kisah rindumu itu, kau membuatku iri saja. Aku juga sedang merindu, bahkan selalu merindu” katanya.

Tanpa ku pinta, sang Ratu Malam pun bercerita tentangnya. Tentang kisah rindu kepada sang Raja Siang. Rindu yang sangat-sangat rindu. Entah kapan bisa terobati.

Katanya, mereka berdua tak pernah bertemu bertatap muka, apalagi bertegur sapa. “Tapi aku sangat yakin si Raja siang juga pasti sangat merinduiku, rindu ingin bertemu”. Lanjutnya, penuh harap.

Lalu ku memberanikan diri bertanya. “ Dari mana kau tau, kalau sang Raja Siang juga merinduimu”. “Dari semburat mega merahnya dikala senja, dari raut sinar harapan di pagi hari saatku meninggalkannya pergi ke belahan bumi lainnya”. Katanya dengan yakin.

“Berarti malam ini kita sama-sama merindu, merindu walau tak pernah bertemu” kataku pada sang Ratu Malam.”iya, betul sekali”. Jawabnya pendek.

“Lalu bolehkah ku titipkan padamu salam rindu untuknya di seberang sana, yang juga sedang menatap indahmu dari kejauhan. Sama sepertiku saat ini”. Pintaku pada sang Ratu Malam.

Sampaikan padanya, jangan lelah menungguku. Jangan risau dengan janjiku. Jangan berhenti merinduku. Sampai Tuhan mempertemukan kita dalam rahman dan rahimNya. Dalam mahligai ridhoNya.

Sampaikan juga padanya. Bahwa, aku disini sedang mempersiapkan diri untuk menjadi imam terbaik dalam hidupnya kelak. Mempersiapkan diri agar mampu menjadi nahkoda yang tangguh untuk kapal pelayaran kami esok hari. Katakan, bahwa aku takkan pernah berhenti merindunya, sampai pertemuan itu terjadi.

Malam semakin kelam. Udara semakin membeku. Bait-bait syair tersulam sempurna. Aku beranjak pergi meninggalkan sang Ratu Malam yang masih dalam rindunya. Sebelum langkahku sempurna meninggalkannya. Sang Ratu Malam menitipkan salam rindu untuk sang Raja Siang. “Salam rindu abadi” ucapnya. Akupun mengangguk tersenyum. “iya, insya Allah. Jika Tuhan masih mengizinkanku bertemu siang esok hari”.

Azan subuh dari menara segi empat membangunkan mimpiku. Selimut tebal yang membalut tubuhku ternyata tak mampu berkutik disergap sang dingin. Tubuhku tetap menggigil dibuatnya.

Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi. Ku basahi anggota wudhuku dengan air hangat yang sedikit membantuku melawan dingin dan kantuk. Ku hamparkan sajadah biru muda itu. Dalam sujud ku pinta padaNya. “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah untuk kami isteri-isteri dan anak keturunan kami yang menjadi penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Furqan: 74).


Maroko, 7/2/2013.