13 Januari, 2012

Rencana Allah Itu Indah


Cerita ini berawal ketika aku mendapat kabar kelulusan beasiswa ke Negeri Matahari Terbenam, Maroko. Sekaligus hari keberangkatan ke Negara tersebut dari kementerian agama pusat, Jakarta. Setelah hampir dua bulan aku beserta teman-teman yang lulus tujuh belas besar menunggu kabar kelulusan terakhir tersebut. Dari tujuhbelas berkas yang dikirim ke Kerajaan Maroko melalui kedutaan mereka di Jakarta, akan diseleksi lagi menjadi limabelas peserta. Hal itu, karena jatah beasiswa dari Kerajaan Maroko untuk mahasiswa Indonesia yang mengambil strata satu hanya limabelas orang untuk setiap tahunnyaAkupun berdoa selalu dalam setiap sujud malam, agar aku termasuk salah satu dari limabelas peserta yang beruntung tersebut.

Malam itu, kabar yang ditunggu pun tiba. Sekitar jam Sembilan malam, handphone-ku berdering, ada pesan yang masuk.  Ternyatapesan itu dikirim oleh temanku yang berasal dari Madura, salah satu peserta yang lulus tujuh belas besar beasiswa Kerajaan Maroko tahun ini. Bunyi pesan itu:

”mabruk ya akh, antum maqbul beasiswa yang ke Maroko. Tadi ana baru ditelepon pak Iwan. Tapi, info di website KEMENAG tidak keluar malam ini. Dari tujuhbelas berkas peserta yang dikirim, yang diterima limabelas orang. Dua orang yang "gugur"  ana sama habib yang dari Sukabumi. Penyebab ketidaklulusan itu karena kami lulusan 2009. Sedangkan, yang diterima hanya lulusan tahun 2011. Tapi tidak apa-apa, mungkin saya jadi ke Sudan dan Habib ke Mesir. Tetap saling mendoakan. Semoga bisa sama-sama sukses, amin."

Pesan dari kawanku ini, membuatku reflek melakukan sujud syukur atas karunia luar biasa yang kembali Allah berikan kepadaku. Perjuanganku bolak-balik Jakarta-Riau untuk mengikuti tes beasiswa tersebut, kini terbayar sudah. Sungguh engkau Maha mendengar akan doa dan mimpiku ya Allah. Setelah bangun dari sujud, aku langsung teringat sebuah peristiwa empat tahun silam. Ketika aku mengambil sebuah keputusan yang awalnya kuanggap sebagai kesalahan terbesar dalam hidupku.

Saat itu, aku sedang duduk di kelas dua Aliyah. Pada salah satu pesantren tertua di tempatku. Libur akhir semester genap tepatnya. Dalam masa transisi naik ke kelas tiga Aliyah, aku ditawari beasiswa oleh pemerintah PEMDA daerah untuk masuk salah satu pesantren modern yang ada di kota Bogor, Jawa Barat. Tawaran beasiswa itu awalnya  hanya  untuk adik kelasku yang baru menyelesaikan pendidikan menengah pertama (Tsanawiyah). Namun, karena orang tuanya enggan melepaskan anak semata wayangnya, pimpinan pondokpun mengambil inisiatif agar aku bersedia menggantikannya. Kata beliau, sayang kalau beasiswa itu ditolak. Karena ini tawaran beasiswa pertama dari PEMDA untuk pesantren kami itu.

Dalam menanggapi tawaran itu, akupun butuh waktu panjang untuk berpikir. Apa mungkin aku mengulang kembali pendidikanku yang satu tahun lagi akan selesai itu ke jenjang awal kelas satu aliyah jika aku mengiyakan beasiswa tersebut. Aku sungguh ragu saat itu, orang tuaku menyerahkan semua itu kepada keputusanku. Dalam kondisi seperti itu, shalat istikharahpun ku lakukan untuk meminta keputusan terbaik dari Sang penentu segala takdir terbaik anak manusia.

Setelah hampir satu bulan, keputusan itupun ku ambil dengan mengiyakan tawaran tersebut, tentu dengan pertimbangan yang sangat matang menuruku saat itu. Pertualangan anak rantau ke kota hujan pun dimulai. Dengan menempuh perjalanan beberapa hari, dan terasa sangat melelahkan, aku pun sampai di kota hujan, Bogor.

Awal pertama menjadi santri sebuah pesantren modern di kota itu, aku merasa shock. Karena deskripsiku tentang sebuah pesantren di pulau Jawa dengan realita yang ku dapati saat itu, hampir bisa dikatakan delapan puluh persen salah, alias tidak tepat. Hidupku bagai di sebuah penjara suci. Penuh dengan disiplin peraturan. Mengantri dalam setiap aktivitas yang tak pernah ada kompromi waktu sedikitpun.Terlambat beberapa detik saja, hukuman siap menantiku. 

Menghadapi realita yang ada saat itu, membuatku menyesal luar biasa telah mengambil keputusan itu. Aku yang tadinya akan lulus satu tahun lagi, kini harus menunggu masa empat tahun lagi dengan kehidupan yang sangat menyiksa batinku itu. Sungguh rasa tidak betah, dan ingin kembali ke kampung halaman selalu menghantui hari-hariku. Beruntung saat itu, aku memiliki seorang wali kelas yang selalu membimbing dan membantuku beradaptasi dengan kondisi seperti itu, walaupun tidak mudah nyatanya. Tapi, paling tidak sedikit membantuku untuk bertahan, yang akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa. Ternyata, aku mampu bertahan selama empat tahun, dan kemudian akhir bulan Mei , sekitar Sembilan bulan yang lalu aku menjadi alumni angkatan kesepuluh pesantren tersebut.

Setelah resmi dinyatakan lulus dari pesantren tersebut, aku mencoba mengikuti tes beasiswa ke Maroko di Kementerian Agama pusat, sekitar bulan Juli yang lalu. Setelah seleksi semua berkas yang masuk, kemenag mengumumkan tiga puluh peserta yang lulus sesuai persyaratan, yang kemudian akan dilanjutkan dengan tes interview untuk menentukan limabelas peserta yang akan diberangkatkan sesuai jatah yang diberikan oleh Kerajaan Maroko.

Setelah tes interview selesai, pihak kemenag mengumumkan limabelas peserta yang lulus beserta empat orang cadangan, sekaligus menentukan batas terakhir pengumpulan berkas-berkas yang harus kami terjemahkan kedalam bahasa arab, untuk  diserahkan ke perwakilan kerajaan maroko di Jakarta, yang selanjutnya akan dikirim ke setiap Universitas yang ada di Maroko. Setelah dilakukan pengumpulan berkas terakhir itu, ternyata dua peserta dari empat peserta cadangan ikut mengumpulkan berkas. al-hasil berkas yang diajukanpun menjadi tujuhbelas peserta, itu artinya dua peserta dari kami harus siap tereliminasi.


Pesan (sms) dari temanku malam itu, benar-benar membuatku mengerti kenapa dulu aku ditakdirkan mengiakan tawaran beasiswa tersebut. Aku tak tahu, apa yang akan terjadi  jika dulu aku tetap melanjutkan sekolah di kampung yang tinggal setahun itu. Tentunya, beasiswa yang sekarang ku jalani di Negara yang dijuluki Negeri Matahari Terbenam ini, " jauh panggang dari api " Mungkin aku akan senasib dengan dua temanku yang tereliminasi diatas. Namun, sekarang tabir itu terbuka sudah. Misteri Allah empat tahun silam terkuak kepermukaan.  Aku bisa lulus termasuk lima belas peserta yang beruntung itu, karena sebab keputusan itu. Sebab yang memberikan efek akibat yang luar biasa bagiku. Sunnatullah selalu mengandung sebab akibat, tanpa sebab tidak akan ada akibat.              
                                                                                                  
“…boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.(QS.al-baqarah:216).

Rencana Allah itu memang indah, bahkan terlalu sangat indah. Kita manusia hanya bisa berencana. Namun, Allah-lah yang akan mengeksekusi rencana tersebut. Kita punya kehendak, Allah punya kehendak, dan yang terjadi adalah kehendaknya, yang terkadang sangat bertentangan dengan kehendak kita. ketika kita meminta kupu-kupu yang indah, Allah terkadang hanya mengasih kita kepompong. Namun, jika kita sabar dan berserah diri terhadap keputusannya, kepompong itu akan berupah menjadi kupu-kupu nan indah. Bahkan , mungkin lebih indah dari kupu-kupu yang kita minta. Pelajaran ini membuatku yakin bahwa apapun yang terjadi dalam hidupku, baik sedih atau bahagia, pasti ada hikmah didalamnya. Oleh karena itu, aku selalu berusaha menerima dengan lapang dada apa yang telah Allah gariskan dalam hidupku. Berusaha sabar dan terus bertawakkal setelah berusaha semaksimal mungkin. Aku juga yakin, jika semua anak manusia memahami makna ini, maka tak akan pernah terlihat kesedihan atau kepedihan dalam diri setiap anak manusia. Karena ia tahu, semua itu pasti yang terbaik baginya, jika tidak di dunia, pasti di akhirat ia akan merasakannya, dengan syarat tetap tawakkal, serta berusaha semaksimal yang ia bisa. Wallu a’lam bisshowab.


Fenomena Pacaran Remaja Muslim


Jika kita bebicara tentang tema pacaran, tentu tidak asing lagi bagi  muda mudi  yang sudah memasuki masa pubertas, masa dimana seorang pemuda sudah mulai  mengenal arti kecantikan seorang wanita, dan begitu juga sebaliknya, seorang wanita sudah mulai mengenal arti ketampanan seorang pemuda. 

Masa muda adalah masa yang labil, masa yang penuh dengan bermacam penomena, masa dimana seorang anak manusia cenderung kearah pencarian jati diri, pengakuan dari individu luar, ingin tau banyak hal tentang kehidupan, serta membutuhkan rasa kasih sayang dari individu yang ia anggap mampu memberikan hal tersebut selain orang tua, yaitu lawan jenisnya. Salah satu penomena itu ialah yang populer di sebut pacaran.

Definisi pacaran memiliki makna tersendiri serta dalam lingkup yang sangat luas, bahkan bisa dikatakan “pacaran” bukan bahasa definitive yang bisa dipakai untuk mewakili penomena yang terjadi terhadap muda mudi tersebut, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang sesuai dengan pengalaman sosio-kulturalnya.

Asal kata “pacaran” dalam bahasa Indonesia adalah “pacar”, yang memilki arti, ”kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih, yang kemudian mendapat imbuhan –an atau ber-an yang arti harfiahnya “bercintaan”; (atau) “berkasih-kasihan”(dengan sang pacar).

Kemudian Wikipedia mendefinisikan kata “pacaran “sebagai proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan”, yang Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi yang semestinya tidak mereka lakukan. Maka, tidak sedikit hal itu disalahartikan oleh kalangan muda mudi yang mengidolakan pacaran tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang sangat jauh dari norma sosial, kesopanan, apalagi agama.

Lalu bagaimana islam sebagai agama menyikapi penomena ini, yang mau tak mau bisa saya katakan remaja atau muda mudi islam saat ini hampir kebanyakan mereka menjalani lakon diatas, baik yang islamnya hanya tertera di KTP sampai kalangan yang bisa dikatakan memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup mumpuni seperti para santri, ustadz, mahasiswa perguruan tinggi islam, aktifis islam, dan lain sebagainya yang menggeluti dunia keislaman, dengan bermacam istilah lain yang mereka gunakan dalam mengartikan hal tersebut.

 Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Karena itu adalah fitrahnya. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya. Mari kita telusuri hal ini dalam arti firmannya dibawah ini:

“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran :14).

Kitab suci alqur’an tidak menafikan hal itu bukan? Tapi, cinta yang bagaimana termasuk kategori diatas, yakni cinta yang mampu memberikan rasa indah dalam pandangan manusia? Apakah cinta yang dibalut dengan istilah pacaran diatas termasuk kategori ayat tersebut?

Sahabatku para remaja muslim, dalam agama islam kita dianjurkan untuk menjaga pandangan dan memilahara kemaluan agar kita tidak terjerumus kedalam lembah ajakan setan laknatullah, karena setan selalu mengajak anak manusia untuk ingkar kepada Allah dan syariat yang dibawa oleh utusannya Nabi besar Muhammad SAW. Hal ini dijelaskan dalam al-qur’an:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…..”(Qs.an-Nur:30-31)

Dalam ayat yang lain kita dilarang mendekati zina.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan  yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.(Qs.al Israa’:32)  

Setujukah kalian wahai para remaja muslim, jika saya katakan pacaran itu adalah jalan (mendekati) untuk melakukan perbuatan zina? Coba kita perhatikan apa saja yang sering dilakukan oleh orang yang sedang berpacaran. Bukankah kalau berpacaran itu tak jauh dari bermesraan, berdua-duaan di tempat gelap, saling berpegangan tangan, ciuman atau berlukan, dan terakhir berbuat zina? Jika memang itu yang terjadi, yuk kita simak dalam sabda Nabi:

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan kecuali ditemani oleh mahram-nya”. (HR.Imam Bukhari)

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, disebutkan pula:

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya, karena orang yang ketiganya nanti adalah syaithan, kecuali kalau ada  mahramnya”.

Sahabatku para remaja muslim, adakah pacaran tanpa hal-hal negative diatas? Tanpa bermesraan, tanpa pegangan tangan, ciuman, pelukan dan seterusnya. Saya rasa tidak ada, kenapa? Karena pacaran itu menurut saya hanya cinta kasih yang hanya mengedepankan hawa nafsu belaka, keegoisan, dan rasa ingin memiliki saja. Remaja muslim jangan tergiur oleh istilah pacaran islami, ta’aruf atau apalah namanya. Karena tipu muslihat setan itu sangat halus saudaraku. Sungguh aneh jika ada yang mengatakan “kita boleh berpacaran asal itu dilakukan secara islami, mencintai kerena Allah”. Rasanya sangat lucu sekali jika selepas melakukan hubungan vertikal kepada allah ( seperti sholat) kemudian kita melakukan hubungan horizontal kepada sang pacar dengan bermesraan lewat telepon, sms, atau lewat jejaring sosial. Sangat aneh jika setelah membaca mushaf kemudian kita membaca surat dari sang pacar, pergi ke mejlis ta’lim berduan pakai motor, dsb. Akhirnya STMJ (Shalat Terus Maksiatpun Jalan) Naudzubillah min dzalik.

Janganlah kita mencampuradukkan kebenaran dangan kebatilan hanya demi sang nafsu yang tak pernah kenyang. Tundukkanlah pandangan terhadap lawan jenismu, agar kau bisa selamat. Karena pandangan itu tak ubahnya seperti sebilah anak panah yang beracun, jika kau lepaskan ia dari busurnya maka ia akan mengenai hatimu yang selanjutnya akan membinasakanmu dengan racun tersebut. Ingatlah bahwa nafsu hanya bisa dikalahkan dengan rasa takut kepada Allah, dengan mendektkan diri kepadanya. Semoga Allah memelihara kita semua dari fitnah zaman ini. Aamin yaa robbal a’alamiin

Tulisan ini telah dimuat di:http://www.dakwatuna.com/2012/02/18395/fenomena-pacaran-remaja-muslim/

Putera Negeri Seribu Jembatan di Negeri Seribu Benteng

Negeri seribu jembatan, merupakan julukan  salah satu  kabupaten yang berada di provinsi Riau, Indonesia . Hal ini dikarenakan banyak sekali terdapat jembatan di negeri ini, yang berfungsi sebagai penghubung jalan. Sebelumnya negeri ini dijuluki Negeri Seribu Parit.  Hal ini  dikarenakan di negeri ini banyak terdapat parit-parit yang sebagian berfungsi sebagai drainase pengairan dan tranfortasi bagi masyarakat yang tinggal di negeri ini, untuk menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lain. Maka, tidak aneh kalau terdapat jembatan dimana-mana. Itulah alasan kenapa akhirnya Negeri Sri Gemilang ini dijuluki Negeri Seribu Jembatan.

Indragiri Hilir, itulah nama resmi kabupaten tersebut. Terletak di pantai Timur pulau Sumatera, merupakan gerbang selatan Propinsi Riau, dengan luas daratan 11.605,97 km² dan peraiaran 7.207 Km² berpenduduk kurang lebih 683.354 jiwa yang terdiri dari berbagai etnis, diantaranya populasi  dengan jumlah yang cukup besar adalah suku Melayu, Jawa; Banjar, Bugis, dan sebagian kecil suku-suku lainnya, dikelilingi perairan berupa sungai-sungai besar dan kecil, parit, rawa-rawa dan laut, secara fisiografis Kabupaten Indragiri Hilir beriklim tropis merupakan sebuah daerah dataran rendah yang terletak diketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut dan dipengaruhi oleh pasang surut.

Itulah sekilas  pendeskripsian tentang kabupaten Indragiri Hilir. Negeri Sri Gemilang, Negeri Seribu Jembatan, yang merupakan tanah kelahiranku. Di sudut  Negeri inilah, aku menghabiskan masa kanak-kanakku. Bermain lumpur, berenang menyeberangi sungai-sungai; pergi menangkap ikan di laut dengan mendayung sampan, memasang jebakan burung di hutan; pergi ke kebun atau ke sawah membantu orang tua, dan berbagai aktifitas lain lumrahnya anak dusun  aku lakoni. Dari sudut Negeri ini pula, aku mulai merajut serta mengukir mimpi-mimpiku. Pendidikan Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), aku selesaikan di sebuah Pesantren yang yang ada di desa tempat aku tinggal bersama kakek-nenekku.

Sejak awal masuk sekolah, aku sudah terbiasa hidup mandiri, jauh dari orang tua dan saudara-saudaraku. Aku lebih banyak tinggal bersama kakek-nenekku di sebuah desa  yang tak jauh dari Pesantren tempatku menimba ilmu agama dan umum. Terkadang, aku juga sering berangkat ke sekolah dari dusun tempat orang tuaku tinggal, walau dengan menempuh perjalanan yang cukup panjang, memakan waktu berjam-jam dengan berjalan kaki serta menelusuri jalan setapak yang berlumpur ketika digilas hujan,  rumput-rumput liar sebahu  menjulur ke bahu jalan yang selalu memandikanku dengan air embun pagi. Namun, bersama teman-temanku dari dusun yang sama atau dari dusun tetangga, kami tetap bersemangat menuju sekolah.

Hal yang sangat berkesan bagiku sampai saat ini, ialah kebersamaan kami ketika berangkat  ke sekolah dulu. Selalu  bersama dalam satu rombongan, saling menunggu ketika ada teman yang terlambat, berangkat ke sekolah dengan canda tawa. Sehingga, jauhnya jarak yang kami tempuh, tak terasa membebani.

Begitulah kami anak-anak dusun yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, yang saat itu sarana serta prasarana transfortasi  sangat tidak memadai. Jangankan motor, sepedapun satu dua orang yang punya. Namun, semua itu tak menyurutkan keinginan kami untuk menghilangkan kebodohan dalam diri kami. Hujan, panas; babi hutan, atau bermacam rintangan dalam perjalanan, tak pernah kami hiraukan, sampai akhirnya pendidikan dasarpun kami selesaikan bersama.

Setelah menamatkan pendidikan dasar, aku kemudian melanjutkan pendidikanku di sekolah atau pesantren yang sama di tingkat Tsanawiyah (SMP). Walaupun, banyak dari teman-temanku yang putus ditengah jalan. Namun, aku tak mau seperti mereka. Kemauanku yang kuat, serta motivasi dari kedua orang tua, menjadikanku terus berjuang walau dengan keadaan ekonomi orang tuaku yang pas-pasan. Kerena aku sangat tau apa yang mereka inginkan dariku. Pengorbanan yang mereka persembahkan untuk membiayai pendidikanku laksana bara yang selalu membakar semangatku dalam meraih mimpi-mimpi, membuat mereka tersenyum bangga padaku.

Masih terekam kuat dalam memoriku,ketika suatu pagi aku ingin berangkat ke sekolah.ketika itu parit yang lebarnya sekitar empat meter penuh oleh air pasang.sedangkan jembatan yang hanya terbuat dari sebatang kayu yang diletakkan dipermukaan parit itu hanyut terbawa arus. parit itu sebenarnya tidak terlalu dalam,tapi bagiku yang saat itu masih kecil tentu aku tidak dapat menyeberanginya.melihat kondisiku itu,ayahku yang mau berangkat ke kebunpun menghampiriku dan menyuruhku melepaskan sepatu serta seragam sekolahku ia menyuruhku memegang dan mengangkat sepatu,seragam serta tas sekolahku setinggi-tingginya. beliau menyuruhku manaiki pundaknya kemudian beliau membawaku menyeberangi parit itu,beliau relakan pakaian beliau basah kuyup hanya demi melihat anaknya tetap bisa pergi ke sekolah hari itu.

Terkadang, ketika aku membutuhkan uang lebih untuk keperluan sekolah, disetiap tahun ajaran baru, untuk membeli buku atau membayar SPP, ayahku yang hanya berprofisi sebagai petani kebun kelapa kopra itu, tak segan-segan mengambil upah kerja dikebun tetangga. Bahkan, sering beliau mengambil upah menebang pohon di hutan. Seolah tak peduli dengan bahaya yang menghadang. Seperti babi hutan, ular besar, bahkan harimau yang sangat ditakuti. Hanya demi beberapa kertas rupiah untuk memenuhi keperluan sekolahku.

Beliau sangat bangga kepadaku. Ia selalu bercerita kepada masyarakat dusun yang ia temui akan prestasiku di sekolah, ketika aku bisa mempersembahkan juara kelas hampir setiap acara pembagian rapor kepadanya. Beliau selalu bilang kepada mereka ” tahun ini anakku juara kelas lagi ”. Ia juga selalu bercerita kepada mereka akan menyekolahkanku sampai sarjana. Padahal, secara kasat mata manalah mungkin ia melakukannya dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan sperti itu. Sedangkan, biaya kuliah sarjana itu tidak murah. Tapi, entahlah. Beliau sangat yakin menyampaikan hal itu. Tanpa terlihat keraguan dalam dirinya. Ternyata miskin harta tak menjadikannya miskin jiwa dan semangat. Ia selalu memberikan wejangan kepadaku, ”Nak, kamu bisa lihat kondisi bapak sekarang? Bapak hanya seorang petani kelapa kopra. Mengambil upah menebang pohon di hutan. Teman sehari-hari bapak adalah kampak dan paran. Kantor bapak hanya kebun dan hutan. Kamu tahu kenapa bapak seperti sekarang? Ini karena pendidikan bapak hanya sampai kelas tiga sekolah dasar. Oleh karena itu, bapak tak mau apa yang terjadi pada bapak sekarang, juga terjadi padamu. Bapak yakin, kamu mampu sampai sarjana. Bapak akan berusaha sekuat yang bapak bisa lakukan. Agar kamu tak seperti bapak. Bapak ingin melihatmu menjadi orang yang sukses. Kerjamu hanya memegang sepatang pena. Temanmu hanya tumpukan kertas-kerta dan  buku-buku tebal dan kantormu di kota. Bukan dihutan seperti bapak sekarang.” Pesan inilah yang selalu membakar semangatku.

Dipertengahan 2005, aku lulus sekolah menengah pertama. Tapi, karena latar belakangku yang Terlahir Sebagai anak dusun. Menjadikanku bak katak dalam tempurung. Tak punya wawasan yang luas tentang kehidupan diluar sana. Jiwa dan alam pikiranku hanya berkutat di dusun dan desa tempat dimana aku tinggal. Jangankan pergi rekreasi ke kota, beberapa dusun tetanggapun tak pernah aku kunjungi. Hal inilah, yang menyebabkan aku pada awalnya tak ada keinginan lain untuk meneruskan pendidikan SMA-ku, kecuali di pesantren tempat aku menyelesaikan dua jenjang pendidikan formalku sebelumnya.

Namun, setelah  mendengar kabar ada beberapa temanku yang meneruskan pendidikan mereka ke pulau Jawa, membuat aku iri. Keinginan seperti merekapun terbit dalam benakku. Tapi, keinginan itu seolah hanya hayalan dalam diriku. Mana mungkin aku bisa seperti mereka. Dari mana aku mendapatkan biaya untuk pergi kesana. Apakah orang tuaku mampu memberikan pesangon setiap bulan untuk biaya pendidikanku di pulau Jawa nanti, jika ku paksakan untuk pergi kesana. Seribu pertanyaan terlintas dalam benakku saat itu. Terlahir sebagai anak yang telah belajar mandiri sejak kecil, aku tak mau membebani orang tuaku. Akhirnya, aku meneruskan pendidikan Menengah Atas di sekolah yang sama. Keinginan merantau ke ranah Jawa pun kusimpan dalam lubuk hati untuk sementara. Namun, rasa optimis bisa mewujudkan impian itu tetap menyala dalam diriku.” apabila kamu memiliki keinginan yang kuat maka bertawakkal-lah kepada allah ”. Dalam doa , kupasrahkan asa itu kepada pemilik takdir kehidupanku, yang apabila ia berkehendak, tak seorangpun mampu menghalanginya. Walaupun, secara kasat mata, aku tak mungkin untuk merealisasikan mimpi itu. Tapi, dalam hati kecilku, aku selau yakin jika Allah merestui mimipi itu, pasti jalan akan terbentang luas di hadapanku. Dari arah mana saja, tak ada yang mustahil bagiNya.

Seiring jarum jam yang terus berputar, mengubah hari menjadi minggu, minggu berganti bulan, bulan berjumpa tahun. Kabar gembira itu datang menemuiku. Ketika itu, aku sedang libur semester genap kelas dua aliyah. Libur itu kugunakan untuk mengambil upah menggarap sawah milik tetangga. Petang itu aku baru saja pulang dari sawah tersebut. Tiba-tiba, adik sepupuku datang ke rumah menghampiriku. Dia katakan , kalau siang tadi, ketika aku di sawah, salah satu ustadz mencariku, tanpa memberi tahu apa maksud beliau.

Keesokan harinya, ustadz yang diceritakan sepupuku tempo hari, berkunjung kerumahku. Ayah menyambutnya dengan ramah. Setelah aku menghampiri dan mencium tangan guruku itu. Kemudian, aku disuruh duduk bersama mereka, di ruang tamu yang hanya beralas tikar lusuh itu. Ternyata, maksud kedatangan beliau adalah untuk mengabarkan kepadaku. Bahwa, aku diangkat anak oleh salah satu pejabat pemerintah  kabupaten, yang merupakan teman dekat ustadzku itu. Kata beliau, pejabat itu ingin menyekolahkanku ke pulau Jawa.

Berita gembira ini, sontak membuat kedua kakiku lemas tak berdaya sesaat. Tubuhku bergetar, menggigil seperti orang kedinginan. Ternyata do’a yang ku panjatkan sejak aku duduk di bangku Tsanawiyah, lima tahun silam, diijabah olehNya. Sungguh dahsyat, sebuah do’a yang dipanjatkan tanpa mengenal lelah dan penuh keyakinan itu. Kini mimpi itu telah hadir di depan mata. Tinggal menunggu keputusanku, apakah aku mau menangkap mimpi itu. Mimpi yang akan membawaku terbang ke angkasa langit biru mengitari dunia.

Sebuah keputusan darikupun ditunggu. Aku yang saat itu telah duduk di kelas dua aliyah, membuatku sedikit bimbang mengambil keputusan. Karena, sebentar lagi aku akan duduk di kelas tiga aliyah. Kelas akhir pendidikanku. Setahun lagi aku akan lulus sebagai alumni pesantren tercinta itu. Namun, karena satu asa untuk membuat kedua orang tuaku tersenyum bangga kepadaku, akupun mengiyakan tawaran tersebut.

Tepat tanggal 20 juli 2007 jum’at sore, aku meninggalkan kampung halaman tercinta, menuju ranah rantau di pulau Jawa. Kini tempurung yang menutupi katak itu sudah dibuka. Sang katak pun dalam kebingungan menatap dunia barunya yang ternyata sangat luas. Sebuah loncatan terjauh dalam hidupku. Awal pengembaraanku menjelajah dunia. Perjalanan itu sangat berkesan bagiku. Bagaimana tidak, aku laksana katak yang kebingungan itu kini menuju ibu kota provinsi dengan perjalanan delapan jam menggunakan mobil yang dulunya tak pernah terlintas dalam benakku. Semuanya serba pertama, pertama kali naik mobil, pertama kali melakukan perjalanan terjauh menuju ibu kota; pertama kali menginap di hotel berbintang, pertama kali naik pesawat. Pokoknya serba pertama. Maklum, anak dusun.

Pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, membuat kebanggaan tersendiri dalam diriku. ”jakarta I’m coming ” ucapku lirih. Perjalanan menuju penginapan  di kota Jakarta memberikan persembahan pemandangan luar biasa kepadaku. Hiruk pikuk kota Jakarta dan gedung-gedung tinggi pencakar langit sekali lagi membangunkan sang katak yang masih dalam kebingungan itu. Ternyata itu Monas, ternyata itu Istiqlal-masjid terbesar di asia tenggara itu, dan ribuan ternyata lainnya. Setelah satu hari aku di salah satu hotel ibu kota, kini aku pindah kesebuah apartemen yang tak jauh dari hotel tersebut.

Setelah hampir satu minggu aku di Jakarta, akupun dihantar melanjutkan perjalan menuju salah satu pesantren modern yang berada di kota Bogor. Tepatnya perbatasan antara Bogor-Sukabumi. Sekitar jam tujuh malam aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di pesantren tercinta itu. Udara dingin khas kota Bogor menyambut kedatanganku. Suasana megah pesantren yang dihiasi indahnya lampu-lampu terang membuatku takjub. Jauh berbeda dengan pesantrenku di dusun dulu. Lalu-lalang santriwan dan santriwati menumbuhkan semangat baruku untuk segera bergabung dengan mereka, menimba ilmu di pesantren itu.

Keesokan harinya, status kesanterianku di pondok itupun dimulai. Hidup dengan penuh disiplin  peraturan, aktivitas yang terjadwal rapi oleh bunyi bel yang menandakan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain full time dua puluh empat jam; berbicara dengan bahasa Arab dan Inggris, berjibaku dengan kitab dan kamus-kamus besar; belajar bagaimana berorganisasi dengan motto”siap memimpin dan dipimpin” dan berbagai aktivitas lain layak seorang santri di pesantren modern menjadi rutinitas harianku. Di pesantren baruku inilah aku banyak belajar tentang makna kehidupan, dan di pesantren ini juga aku mengukir mimpi baru untuk terbang lebih jauh mengejar mimpi keluar negeri. Berbekal keyakinan doaku yang dijawab oleh Allah sampai aku bisa mondok di pulau Jawa ini. Tanpa ragu sedikitpun aku kembali memunajat, mengirim doa kepadaNya agar aku diberi kesempatan sekali lagi untuk meneruskaan pendidikanku  keluar negeri.

Sekali lagi, jarum jam yang berputar cepat telah menghantarkanku di hari yang paling kutunggu selama empat tahun nyantri di kota hujan. Hari itu  tak lain ialah wisuda santri angkatan sepuluh. Tepat pada tanggal 28 mei 2011, aku diwisuda. Pencarian informasi beasiswa keluar negeripun semakin aktif kulakukan. Mulai dari mengirim surat ke beberapa kedutaan besar Negara timur tengah yang ada di Jakarta sampai ikut tes langsung dengan tujuan beberapa Negara yang menyediakan beasiswa ke Negara mereka

Kerja kerasku akhirnya memberikan hasil yang manis, Allah memang maha mendengar. Sekali lagi, doa yang selalu kupanjatkan kehadiratNya dalam setiap sujudku kembali dikabulkan. Satu mimpiku kembali ia restui. Kuliah keluar negeri. Tiga bulan yang lalu aku terbang menuju tanah kelahiran sang pengembara muslim dunia Ibnu Batuthah. Maroko atau Maghribi, Negeri yang disebut Matahari Terbenam yang juga dijuluki Negeri Seribu Benteng. Sungguh dahsyat sebuah mimpi yang selalu disertai dengan kerja keras dan doa yang penuh keyakinan. Oleh kerena itu, teruslah bermimpi setinggi-tingginya, kawan. Karena Allah selalu mendengar mimpi-mimpimu, dan akan merestui satu persatu dari ribuan mimpi itu, jika kau sertai dengan kerja keras dan doa penuh keyakinan kepadanya.