27 Mei, 2013

Rasa

Tuhan...
Aku paham,
rasa ini datang dariMu, dan
aku mengerti,
jika aku tak mampu memikulnya,
Kau takkan titipkan ia padaku.
Untuk itu Tuhan,
kuserahkan kembali rasa ini padaMu,
dalam pasrah aturan dan suratanMu,
untuk alur cerita hidupku.
Karena aku dan rasa ini adalah milikMu...


Maroko, 26/05/13.

25 Mei, 2013

Halusinasi

Suatu hari, di sebuah taman kota di negeri antah berantah. Sang Mimpi marah besar kepada Malas. Hal itu karena Sang Malas ia anggap sebagai musuh terbesarnya sejak berabad-abad lalu. Entah berapa Mimpi yang tenggelam sirna oleh Kemalasan. Kemalasan telah membuat Mimpi-Mimpi itu membeku karena tak terjamah oleh pemiliknya.

"Sungguh terkutuk kau Malas! kenapa kau tak enyah saja dari kehidupan ini. Biar Mimpi-Mimpi itu dapat menjamah realita-realita mereka. Kau seolah tak pernah puas membuat pemilik-pemilik kami frustasi, berteman dengan halusinasi di bangsal-bangsal rumah sakit jiwa. Bahkan, tak sedikit yang terbujur kaku. Bunuh diri."

"Tidakkah engkau kasihan terhadap pemilik Mimpi-Mimpi itu. Mereka terbujur kaku dalam halusinasi masa depan yang pernah mereka semai. Apa dosa mereka padamu, Malas? Engkau sungguh kejam." Sang Mimpi meluahkan isi hatinya tanpa jeda pada Sang Malas yang dari tadi berbaring santai diatas rerumputan hijau taman kota.

Sambil bangkit dari tidur-tiduran malasnya sekaligus tanpa merasa bersalah, Sang Malas berujar santai saja. "Engkau ini bagaimana wahai Mimpi. Bersumpah serapah begitu kasar padaku. Kenapa kau selalu megkambinghitamkanku. Salahkan para pemilikmu itu. Mereka sendiri yang selalu memujiku dalam setiap detik-detik mereka."

"Mereka bisanya hanya berceloteh, -aku ingin sukses, aku ingin kaya; aku ingin jadi orang besar, bahkan ada yang berujar-aku ingin bahagia dunia akhirat-. Tapi nyatanya mereka tak mau bergerak untuk berbuat. Menjalani proses Mimpi Mimpi meraka itu.

"Asal kamu tahu wahai Mimpi. Setelah mereka berceloteh seperti itu, mereka malah memcumbuku, memelukku erat, seakan aku adalah kekasih abadi mereka."

"Bukankah Tuhan pernah berkata wahai mimpi. Bahwa, Dia tidak akan merubah kondisi suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mau merubahnya."

"Kau jangan lagi mengkambinghitamkanku wahai Mimpi. Ini memang hidupku. Tak ada Mimpi yang menjadi nyata bersamaku. Mimpi itu akan busuk jika selalu memegang erat tanganku."

"Jadi, siapa yang harus enyah dari dunia ini. Engkau wahai sang Mimpi, atau para pemilikmu itu. Silahkan kalian berdamai, Atau silahkan tinggalkan aku." Balas Sang Malas dengan panjang lebar sambil mengumbar senyum kemenangan. Merasa dialah yang paling berhak tinggal di kolong langit ini.

Saat Sang Mimpi dan Sang Malas berceloteh saling menyalahkan. Datang Sang Semangat mengahampiri, Mengajak Sang Mimpi menjauh dari Sang Malas. Sambil menggenggam tangan Sang Mimpi, Sang Semangat berujar, "Sudahlah kawan! tak ada gunanya kau meladeni Si Malas ini. Hanya membuang-buang waktu saja. Ingatlah dia memang diciptakan untuk menghancurkan kita dan para pemilik kita. Biarkan dia bersama si Pemalas membuat muram dunia ini. Masih banyak diluar sana Sang Pemimpi yang selalu mengharapkan kehadiran kita berdua. Menemani mereka merubah dunia, menemani mereka menuju kebahagian hakiki. Kebahagian abadi yang mereka idam-idamkan."

"Selamat tinggal Malas! Kau dan si Pemalas takkan berarti tinggal di kolong langit ini. Kalian hanya sampah yang selalu mengotori dinamika kehidupan kami." Ucap Sang Semangat sambil berlalu meninggalkan Sang Malas yang sedari tadi berdiri mematung.


Maroko,25/5/13

Dalam jihad melawan kemalasan

menuju medan perang Imtihan. 



09 Mei, 2013

Aku, Dia; Cinta


*Perkenalan
Aku mengenalnya sepintas saja,
Sekedar pernah bersapa
sekedar sapa apa adanya,
hanya seperlunya.
Tak kurang tak lebih.

Aku tak pernah menyapanya lebih banyak,
bukan aku tak mau atau tak berani,
tapi aku menghormatinya.

Dia begitu bersahaja,
menjaga pandangan, pakaian dan tutur kata.
Jadi, mana mungkin aku merusak 
semua keindahan itu.
Aku tak ingin keanggunan busana dan tutur katanya 
ternodai oleh tingkah lakuku.

*Permata Berlapis Kaca 
Dia ibarat permata berlapis kaca,
tak ada yang bisa menyentuhnya,
karena ia sangat istimewa.

Tapi entah kenapa,
tegur sapa ala kadarnya itu membuatku kelimpungan,
seolah baru menyapa sang ratu bertahta.
Terkesan sekali aku dibuatnya.

*Definisi Cinta
Sampai saat ini,
aku hanya mampu menatap dan menyapanya dari jauh,
jauh sekali,
dari lubuk hatiku yang terdalam.

Dia membuatku mengaguminya terlalu berlebihan,
sampai aku tak mampu memahami,
apakah ini kekaguman yang wajar,
atau ini yang mereka sebut Cinta itu.

Cinta? Ah, kata-kata itu terlalu klasik untukku.
Kata-kata yang telah lama kudengar, dengan sejuta definisinya.
Tapi, jujur, aku tak pernah memahami
bagaimana citrarasa makhluk yang bernama Cinta ini,
apalagi mendefinisikannya dalam versiku sendiri.
Aku buta tentang rasa ini.

*Tentang Cinta 
Tentang Cinta,
sebenarnya banyak teman yang mengajariku,

katanya cinta itu indah,
cinta itu sahdu mendayu.

Bahkan, Habiburrahman el-shirazy
Sang penulis novel-novel tentang cinta
yang sangat kukagumi itu
ikut mengajariku tentang cinta,

katanya:

"CINTA adalah KEKUATAN yang mampu
mengubah duri jadi mawar,
mengubah cuka jadi anggur,
mengubah malang jadi untung,
mengubah sedih jadi riang,
mengubah setan jadi nabi,
mengubah iblis jadi malaikat,
mengubah sakit jadi sehat,
mengubah kikir jadi dermawan,
mengubah kandang jadi taman,
mengubah penjara jadi istana,
mengubah amarah jadi ramah,
mengubah musibah jadi muhibbah,
itulah CINTA."

*Pengakuan Jujur Tentang Cinta 
Dalam puisi selanjutnya,
beliau menyadari bahwa, 
tak ada yang mampu mendefinisikan cinta secara utuh,
sama sepertiku yang bahkan tak pernah mampu sama sekali
mendefinisakan cinta dalam versiku.
Ini pengakuan jujur beliau itu,

"Sekalipun CINTA telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar.
Namun jika CINTA kudatangi, aku jadi malu pada keteranganku sendiri.
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.
Namun tanpa lidah, CINTA ternyata lebih terang.
Sementara pena begitu tergesa gesa menuliskannya.
Kata kata pecah berkeping keping begitu sampai kepada CINTA.
Dalam menguraikan CINTA, akal terbaring tak berdaya.
Bagaikan keledai terbaring dalam Lumpur.
CINTA sendirilah yang menerangkan CINTA dan perCINTAan."

*Pinangan 
Jika membuka lembaran masa lalu,
sepertinya sudah beberapa kali aku pernah mengagumi
lawan jenis yang sebaya atau
beberapa tahun lebih muda dariku.

Tapi entah kenapa, yang ini sepertinya lain.
Aku seolah mengagumi semua sisi darinya.
Tentang senyumnya, tawanya, sapanya, busananya, akhlaknya,
dan lain-lainnya, begitu banyak.

Tapi sekali lagi,
aku telah bertekad takkan mengusiknya,
apapun namanya.

Biar rasa ini berlalu begitu saja.
Aku tak berhak mencurahkan rasa ini kepadanya,
jika aku tak mampu menatapnya dalam tatapan halal yang lebih lama.

Jarak masa begitu membentang jauh
jika aku mengutarakan rasa ini
dalam lembaran pinangan dan
kemudian memintanya menunggu untuk sebuah akad suci itu.

Karena aku masih punya asa untuk kedua orangtuaku.
Untuk membahagiakan mereka terlebih dahulu.
Tak ada kebahagianku sebelum kebahagian kedua orang tuaku.
Itu komitmenku tempo dulu yang takkan pernah kuingkari.

*Bayang-Bayang Rindu 
Jujur saja,
aku tak ingin meraba rasa ini terlalu dalam,
karena takut ia hanya sekam
yang akan membakarku
jika terpercik api-api nafsu itu.

Aku berusaha untuk selalu menghindar darinya,
walau terkadang aku tak berkutik
kala rindu dan bayang-bayang itu menyambangi dalam sepi.

*Janji-Janji Surga
Sudahlah, 
aku tak mampu berbuat banyak,

menghapus virus ini terlalu kusar bagiku,
membiarkannya tetap bersarang dalam hati
juga hanya akan membuatku semakin beku.

Biarlah semua ini mengalir pada arusnya,
berotasi pada orbitnya.

Untuk saat ini, aku hanya mampu mengatakan
"aku sungguh mengagumimu" itu saja.

Tak mau berharap lebih.
Tak mau berjanji-janji surga.

*Makhluk Halus Bernama Cinta
Terakhir,
jika benar ini cinta,
ia akan kuserahkan pada takdirNya.

Jika catatan di Lauh Mahfuzd itu,
aku bersamanya, maka
dia pasti ada dihujung penantian,

namun jika catatan takdir itu,
aku bukan bersamanya,

pasti orang yang lebih baik dariku,
yang lebih beruntung dariku,
yang lebih pantas dan siap dariku
akan menemukannya.

Biar rasa ini hanya jadi rahasia antara aku dan Tuhanku.
Dalam misteri sebuah rasa.
Pada makhluk halus bernama Cinta.


Di malam yang mulai menghangat,
Maroko, 8/5/2013.

08 Mei, 2013

Aku, Dia; Cinta


Aku mengenalnya sepintas saja, pernah bersapa sekedar sapa apa adanya, hanya seperlunya. Tak kurang tak lebih. Aku tak pernah menyapanya lebih banyak, bukan aku tak mau atau tak berani, tapi aku menghormatinya. Dia begitu bersahaja, menjaga pandangan, pakaian dan tutur kata. Jadi, mana mungkin aku merusak semua keindahan itu. Aku tak ingin keanggunan busana dan tutur katanya ternodai oleh tingkah lakuku.

Dia ibarat permata berlapis kaca, tak ada yang bisa menyentuhnya, karena ia sangat istimewa. Tapi entah kenapa, tegur sapa ala kadarnya itu membuatku kelimpungan, seolah baru menyapa sang ratu bertahta. Terkesan sekali aku dibuatnya.

Sampai saat ini, aku hanya mampu menatap dan menyapanya dari jauh, jauh sekali, dari lubuk hatiku yang terdalam.

Dia membuatku mengaguminya terlalu berlebihan, sampai aku tak mampu memahami, apakah ini kekaguman yang wajar, atau ini yang mereka sebut Cinta itu.

Cinta? Ah, kata-kata itu terlalu klasik untukku. Kata-kata yang telah lama kudengar, dengan sejuta definisinya. Tapi, jujur, aku tak pernah memahami bagaimana citrarasa makhluk yang bernama Cinta ini, apalagi mendefinisikannya dalam versiku sendiri. Aku buta tentang rasa ini.

Tentang Cinta, sebenarnya banyak teman yang mengajariku, katanya cinta itu indah, cinta itu sahdu mendayu. Bahkan, Habiburrahman el-shirazy Sang penulis novel-novel tentang cinta yang sangat kukagumi itupun ikut mengajariku tentang cinta, kata beliau:

CINTA adalah KEKUATAN yang mampu
mengubah duri jadi mawar,
mengubah cuka jadi anggur,
mengubah malang jadi untung,
mengubah sedih jadi riang,
mengubah setan jadi nabi,
mengubah iblis jadi malaikat,
mengubah sakit jadi sehat,
mengubah kikir jadi dermawan,
mengubah kandang jadi taman,
mengubah penjara jadi istana,
mengubah amarah jadi ramah,
mengubah musibah jadi muhibbah,
itulah CINTA.

Dalam puisi selanjutnya, beliau menyadari bahwa tak ada yang mampu mendefinisikan cinta secara utuh, sama sepertiku yang bahkan tak pernah mampu sama sekali mendefinisakan cinta dalam versiku. Ini pengakuan jujur beliau itu" Sekalipun CINTA telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar. Namun jika CINTA kudatangi, aku jadi malu pada keteranganku sendiri. Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang. Namun tanpa lidah, CINTA ternyata lebih terang. Sementara pena begitu tergesa gesa menuliskannya. Kata kata pecah berkeping keping begitu sampai kepada CINTA. Dalam menguraikan CINTA, akal terbaring tak berdaya. Bagaikan keledai terbaring dalam Lumpur. CINTA sendirilah yang menerangkan CINTA dan perCINTAan.

Jika membuka lembaran masa lalu, sepertinya sudah beberapa kali aku pernah mengagumi lawan jenis yang sebaya atau beberapa tahun lebih muda dariku. Tapi entah kenapa, yang ini sepertinya lain. Aku seolah mengagumi semua sisi darinya. Tentang senyumnya, tawanya, sapanya, busananya, akhlaknya, dan lain-lainnya, begitu banyak. Tapi sekali lagi, aku telah bertekad takkan mengusiknya, apapun namanya. Biar rasa ini berlalu begitu saja. Aku tak berhak mencurahkan rasa ini kepadanya, jika aku tak mampu menatapnya lebih lama dalam tatapan yang halal. Jarak masa begitu membentang jauh jika aku mengutarakan rasa ini dalam lembaran pinangan dan kemudian memintanya menunggu untuk sebuah akad suci itu. Karena aku masih punya asa untuk kedua orangtuaku. Untuk membahagiakan mereka terlebih dahulu. Tak ada kebahagianku sebelum kebahagian kedua orang tuaku. Itu komitmenku tempo dulu yang takkan pernah kuingkari.

Jujur saja, aku tak ingin meraba rasa ini terlalu dalam, karena takut ia hanya sekam yang akan membakarku jika terpercik api-api nafsu itu. Aku berusaha untuk selalu menghindar darinya, walau terkadang aku tak mampu berkutik kala rindu dan bayang-bayang itu menyambangi dalam sepi.

Sudahlah, aku tak mampu berbuat banyak, menghapus virus ini terlalu kusar bagiku, membiarkannya tetap bersarang dalam hati juga hanya akan membuatku semakin beku. Biarlah semua ini mengalir pada arusnya, berotasi pada orbitnya. Untuk saat ini, aku hanya mampu mengatakan" aku sungguh mengagumimu" itu saja. Tak mau berharap lebih. Tak mau berjanji-janji surga.

Terakhir, jika benar ini cinta, ia akan kuserahkan pada takdirNya. Jika catatan di Lauh Mahfuzd itu, aku bersamanya nanti, maka dia pasti ada dihujung penantian, namun jika catatan takdir itu, aku bukan bersamanya, pasti orang yang lebih baik dariku, yang lebih beruntung dariku, yang lebih pantas dan siap dariku akan menemukannya. Biar rasa ini hanya jadi rahasia antara aku dan Tuhanku. Dalam misteri sebuah rasa. Pada makhluk halus bernama Cinta.

Di malam yang mulai menghangat,
Maroko, 8/5/2013.