25 Mei, 2013

Halusinasi

Suatu hari, di sebuah taman kota di negeri antah berantah. Sang Mimpi marah besar kepada Malas. Hal itu karena Sang Malas ia anggap sebagai musuh terbesarnya sejak berabad-abad lalu. Entah berapa Mimpi yang tenggelam sirna oleh Kemalasan. Kemalasan telah membuat Mimpi-Mimpi itu membeku karena tak terjamah oleh pemiliknya.

"Sungguh terkutuk kau Malas! kenapa kau tak enyah saja dari kehidupan ini. Biar Mimpi-Mimpi itu dapat menjamah realita-realita mereka. Kau seolah tak pernah puas membuat pemilik-pemilik kami frustasi, berteman dengan halusinasi di bangsal-bangsal rumah sakit jiwa. Bahkan, tak sedikit yang terbujur kaku. Bunuh diri."

"Tidakkah engkau kasihan terhadap pemilik Mimpi-Mimpi itu. Mereka terbujur kaku dalam halusinasi masa depan yang pernah mereka semai. Apa dosa mereka padamu, Malas? Engkau sungguh kejam." Sang Mimpi meluahkan isi hatinya tanpa jeda pada Sang Malas yang dari tadi berbaring santai diatas rerumputan hijau taman kota.

Sambil bangkit dari tidur-tiduran malasnya sekaligus tanpa merasa bersalah, Sang Malas berujar santai saja. "Engkau ini bagaimana wahai Mimpi. Bersumpah serapah begitu kasar padaku. Kenapa kau selalu megkambinghitamkanku. Salahkan para pemilikmu itu. Mereka sendiri yang selalu memujiku dalam setiap detik-detik mereka."

"Mereka bisanya hanya berceloteh, -aku ingin sukses, aku ingin kaya; aku ingin jadi orang besar, bahkan ada yang berujar-aku ingin bahagia dunia akhirat-. Tapi nyatanya mereka tak mau bergerak untuk berbuat. Menjalani proses Mimpi Mimpi meraka itu.

"Asal kamu tahu wahai Mimpi. Setelah mereka berceloteh seperti itu, mereka malah memcumbuku, memelukku erat, seakan aku adalah kekasih abadi mereka."

"Bukankah Tuhan pernah berkata wahai mimpi. Bahwa, Dia tidak akan merubah kondisi suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mau merubahnya."

"Kau jangan lagi mengkambinghitamkanku wahai Mimpi. Ini memang hidupku. Tak ada Mimpi yang menjadi nyata bersamaku. Mimpi itu akan busuk jika selalu memegang erat tanganku."

"Jadi, siapa yang harus enyah dari dunia ini. Engkau wahai sang Mimpi, atau para pemilikmu itu. Silahkan kalian berdamai, Atau silahkan tinggalkan aku." Balas Sang Malas dengan panjang lebar sambil mengumbar senyum kemenangan. Merasa dialah yang paling berhak tinggal di kolong langit ini.

Saat Sang Mimpi dan Sang Malas berceloteh saling menyalahkan. Datang Sang Semangat mengahampiri, Mengajak Sang Mimpi menjauh dari Sang Malas. Sambil menggenggam tangan Sang Mimpi, Sang Semangat berujar, "Sudahlah kawan! tak ada gunanya kau meladeni Si Malas ini. Hanya membuang-buang waktu saja. Ingatlah dia memang diciptakan untuk menghancurkan kita dan para pemilik kita. Biarkan dia bersama si Pemalas membuat muram dunia ini. Masih banyak diluar sana Sang Pemimpi yang selalu mengharapkan kehadiran kita berdua. Menemani mereka merubah dunia, menemani mereka menuju kebahagian hakiki. Kebahagian abadi yang mereka idam-idamkan."

"Selamat tinggal Malas! Kau dan si Pemalas takkan berarti tinggal di kolong langit ini. Kalian hanya sampah yang selalu mengotori dinamika kehidupan kami." Ucap Sang Semangat sambil berlalu meninggalkan Sang Malas yang sedari tadi berdiri mematung.


Maroko,25/5/13

Dalam jihad melawan kemalasan

menuju medan perang Imtihan.