23 Januari, 2012
22 Januari, 2012
Embun Pagi
Mentari pagi hadir menyinari bumi
embun pagi menetis rapi
diantara semak-semak belukar
kicauan burung bersenandung menggugah hati
menyapa bumi yang sepi
awan-awan putih berlayar
mengarungi lautan biru langit
mengikuti langkah mata angin
rintik embun pagi
masih tersisa di dedaunan
laksana butiran mutiara
embun pagi menetis rapi
diantara semak-semak belukar
kicauan burung bersenandung menggugah hati
menyapa bumi yang sepi
awan-awan putih berlayar
mengarungi lautan biru langit
mengikuti langkah mata angin
rintik embun pagi
masih tersisa di dedaunan
laksana butiran mutiara
15 Januari, 2012
13 Januari, 2012
Rencana Allah Itu Indah
Cerita
ini berawal ketika aku mendapat kabar kelulusan beasiswa ke Negeri Matahari Terbenam, Maroko. Sekaligus hari keberangkatan ke Negara tersebut dari
kementerian agama pusat, Jakarta. Setelah hampir dua bulan aku beserta
teman-teman yang lulus tujuh belas besar menunggu kabar kelulusan terakhir
tersebut. Dari tujuhbelas berkas yang dikirim ke Kerajaan Maroko melalui
kedutaan mereka di Jakarta, akan diseleksi lagi
menjadi limabelas peserta. Hal itu, karena jatah beasiswa dari Kerajaan Maroko
untuk mahasiswa Indonesia yang mengambil strata satu hanya limabelas orang untuk
setiap tahunnya. Akupun berdoa selalu
dalam setiap sujud malam, agar aku termasuk salah satu dari limabelas peserta yang
beruntung tersebut.
Malam
itu, kabar yang ditunggu pun tiba. Sekitar jam Sembilan malam, handphone-ku
berdering, ada pesan yang masuk. Ternyatapesan
itu dikirim oleh temanku yang berasal dari Madura, salah satu peserta yang lulus
tujuh belas besar beasiswa Kerajaan Maroko tahun ini. Bunyi pesan itu:
”mabruk ya akh, antum maqbul beasiswa yang ke Maroko. Tadi ana baru ditelepon pak Iwan. Tapi, info di website KEMENAG tidak keluar malam ini. Dari tujuhbelas berkas peserta yang dikirim, yang diterima limabelas orang. Dua orang yang "gugur" ana sama habib yang dari Sukabumi. Penyebab ketidaklulusan itu karena kami lulusan 2009. Sedangkan, yang diterima hanya lulusan tahun 2011. Tapi tidak apa-apa, mungkin saya jadi ke Sudan dan Habib ke Mesir. Tetap saling mendoakan. Semoga bisa sama-sama sukses, amin."
”mabruk ya akh, antum maqbul beasiswa yang ke Maroko. Tadi ana baru ditelepon pak Iwan. Tapi, info di website KEMENAG tidak keluar malam ini. Dari tujuhbelas berkas peserta yang dikirim, yang diterima limabelas orang. Dua orang yang "gugur" ana sama habib yang dari Sukabumi. Penyebab ketidaklulusan itu karena kami lulusan 2009. Sedangkan, yang diterima hanya lulusan tahun 2011. Tapi tidak apa-apa, mungkin saya jadi ke Sudan dan Habib ke Mesir. Tetap saling mendoakan. Semoga bisa sama-sama sukses, amin."
Pesan
dari kawanku ini, membuatku reflek melakukan sujud syukur atas karunia luar
biasa yang kembali Allah berikan kepadaku. Perjuanganku bolak-balik Jakarta-Riau
untuk mengikuti tes beasiswa tersebut, kini terbayar sudah. Sungguh engkau Maha
mendengar akan doa dan mimpiku ya Allah. Setelah bangun dari sujud, aku langsung
teringat sebuah peristiwa empat tahun silam. Ketika aku mengambil sebuah
keputusan yang awalnya kuanggap sebagai kesalahan terbesar dalam hidupku.
Saat
itu, aku sedang duduk di kelas dua Aliyah. Pada salah satu pesantren tertua di
tempatku. Libur akhir semester genap tepatnya. Dalam masa transisi naik ke kelas
tiga Aliyah, aku ditawari beasiswa oleh pemerintah PEMDA daerah untuk masuk
salah satu pesantren modern yang ada di kota Bogor, Jawa Barat. Tawaran beasiswa itu
awalnya hanya untuk adik kelasku yang baru menyelesaikan
pendidikan menengah pertama (Tsanawiyah). Namun, karena orang tuanya enggan
melepaskan anak semata wayangnya, pimpinan pondokpun mengambil inisiatif agar
aku bersedia menggantikannya. Kata beliau, sayang kalau beasiswa itu ditolak. Karena
ini tawaran beasiswa pertama dari PEMDA untuk pesantren kami itu.
Dalam
menanggapi tawaran itu, akupun butuh waktu panjang untuk berpikir. Apa mungkin
aku mengulang kembali pendidikanku yang satu tahun lagi akan selesai itu ke
jenjang awal kelas satu aliyah jika aku mengiyakan beasiswa tersebut. Aku
sungguh ragu saat itu, orang tuaku menyerahkan semua itu kepada
keputusanku. Dalam kondisi seperti itu, shalat istikharahpun ku lakukan untuk
meminta keputusan terbaik dari Sang penentu segala takdir terbaik anak manusia.
Setelah
hampir satu bulan, keputusan itupun ku ambil dengan mengiyakan tawaran tersebut, tentu
dengan pertimbangan yang sangat matang menuruku saat itu. Pertualangan anak
rantau ke kota hujan pun dimulai. Dengan menempuh perjalanan beberapa hari, dan terasa sangat melelahkan, aku pun
sampai di kota hujan, Bogor.
Awal
pertama menjadi santri sebuah pesantren modern di kota itu, aku merasa shock. Karena
deskripsiku tentang sebuah pesantren di pulau Jawa dengan realita yang ku dapati
saat itu, hampir bisa dikatakan delapan puluh persen salah, alias tidak tepat. Hidupku
bagai di sebuah penjara suci. Penuh dengan disiplin peraturan. Mengantri dalam
setiap aktivitas yang tak pernah ada kompromi waktu sedikitpun.Terlambat
beberapa detik saja, hukuman siap menantiku.
Menghadapi realita yang ada saat itu, membuatku menyesal luar biasa telah mengambil keputusan itu. Aku yang tadinya akan lulus satu tahun lagi, kini harus menunggu masa empat tahun lagi dengan kehidupan yang sangat menyiksa batinku itu. Sungguh rasa tidak betah, dan ingin kembali ke kampung halaman selalu menghantui hari-hariku. Beruntung saat itu, aku memiliki seorang wali kelas yang selalu membimbing dan membantuku beradaptasi dengan kondisi seperti itu, walaupun tidak mudah nyatanya. Tapi, paling tidak sedikit membantuku untuk bertahan, yang akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa. Ternyata, aku mampu bertahan selama empat tahun, dan kemudian akhir bulan Mei , sekitar Sembilan bulan yang lalu aku menjadi alumni angkatan kesepuluh pesantren tersebut.
Menghadapi realita yang ada saat itu, membuatku menyesal luar biasa telah mengambil keputusan itu. Aku yang tadinya akan lulus satu tahun lagi, kini harus menunggu masa empat tahun lagi dengan kehidupan yang sangat menyiksa batinku itu. Sungguh rasa tidak betah, dan ingin kembali ke kampung halaman selalu menghantui hari-hariku. Beruntung saat itu, aku memiliki seorang wali kelas yang selalu membimbing dan membantuku beradaptasi dengan kondisi seperti itu, walaupun tidak mudah nyatanya. Tapi, paling tidak sedikit membantuku untuk bertahan, yang akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa. Ternyata, aku mampu bertahan selama empat tahun, dan kemudian akhir bulan Mei , sekitar Sembilan bulan yang lalu aku menjadi alumni angkatan kesepuluh pesantren tersebut.
Setelah
resmi dinyatakan lulus dari pesantren tersebut, aku mencoba mengikuti tes
beasiswa ke Maroko di Kementerian Agama pusat, sekitar bulan Juli yang
lalu. Setelah seleksi semua berkas yang masuk, kemenag mengumumkan tiga puluh
peserta yang lulus sesuai persyaratan, yang kemudian akan dilanjutkan dengan tes
interview untuk menentukan limabelas peserta yang akan diberangkatkan sesuai
jatah yang diberikan oleh Kerajaan Maroko.
Setelah
tes interview selesai, pihak kemenag mengumumkan limabelas peserta yang lulus
beserta empat orang cadangan, sekaligus menentukan batas terakhir pengumpulan
berkas-berkas yang harus kami terjemahkan kedalam bahasa arab, untuk diserahkan ke perwakilan kerajaan maroko di
Jakarta, yang selanjutnya akan dikirim ke setiap Universitas yang ada di Maroko. Setelah
dilakukan pengumpulan berkas terakhir itu, ternyata dua peserta dari empat
peserta cadangan ikut mengumpulkan berkas. al-hasil berkas yang diajukanpun
menjadi tujuhbelas peserta, itu artinya dua peserta dari kami harus siap
tereliminasi.
Pesan
(sms) dari temanku malam itu, benar-benar membuatku mengerti kenapa dulu aku
ditakdirkan mengiakan tawaran beasiswa tersebut. Aku tak tahu, apa yang akan
terjadi jika dulu aku tetap melanjutkan
sekolah di kampung yang tinggal setahun itu. Tentunya, beasiswa yang sekarang
ku jalani di Negara yang dijuluki Negeri Matahari Terbenam ini, " jauh
panggang dari api " Mungkin aku akan senasib dengan dua temanku yang
tereliminasi diatas. Namun, sekarang tabir itu terbuka sudah. Misteri Allah
empat tahun silam terkuak kepermukaan.
Aku bisa lulus termasuk lima belas peserta yang beruntung itu, karena
sebab keputusan itu. Sebab yang memberikan efek akibat yang luar biasa bagiku.
Sunnatullah selalu mengandung sebab akibat, tanpa sebab tidak akan ada akibat.
“…boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak Mengetahui.(QS.al-baqarah:216).
Rencana Allah itu memang indah, bahkan terlalu sangat indah. Kita manusia hanya bisa
berencana. Namun, Allah-lah yang akan mengeksekusi rencana tersebut. Kita punya
kehendak, Allah punya kehendak, dan yang terjadi adalah kehendaknya, yang
terkadang sangat bertentangan dengan kehendak kita. ketika kita meminta
kupu-kupu yang indah, Allah terkadang hanya mengasih kita kepompong. Namun, jika
kita sabar dan berserah diri terhadap keputusannya, kepompong itu akan berupah
menjadi kupu-kupu nan indah. Bahkan , mungkin lebih indah dari kupu-kupu yang kita
minta. Pelajaran ini membuatku yakin bahwa apapun yang terjadi dalam
hidupku, baik sedih atau bahagia, pasti ada hikmah didalamnya. Oleh karena itu, aku
selalu berusaha menerima dengan lapang dada apa yang telah Allah gariskan dalam
hidupku. Berusaha sabar dan terus bertawakkal setelah berusaha semaksimal
mungkin. Aku juga yakin, jika semua anak manusia memahami makna ini, maka tak akan
pernah terlihat kesedihan atau kepedihan dalam diri setiap anak manusia. Karena
ia tahu, semua itu pasti yang terbaik baginya, jika tidak di dunia, pasti
di akhirat ia akan merasakannya, dengan syarat tetap tawakkal, serta berusaha
semaksimal yang ia bisa. Wallu a’lam bisshowab.
Fenomena Pacaran Remaja Muslim
Jika
kita bebicara tentang tema pacaran, tentu tidak asing lagi bagi muda mudi yang sudah memasuki masa pubertas, masa dimana
seorang pemuda sudah mulai mengenal arti
kecantikan seorang wanita, dan begitu juga sebaliknya, seorang wanita sudah mulai
mengenal arti ketampanan seorang pemuda.
Masa muda adalah masa yang labil, masa yang penuh dengan bermacam penomena, masa dimana seorang anak manusia cenderung kearah pencarian jati diri, pengakuan dari individu luar, ingin tau banyak hal tentang kehidupan, serta membutuhkan rasa kasih sayang dari individu yang ia anggap mampu memberikan hal tersebut selain orang tua, yaitu lawan jenisnya. Salah satu penomena itu ialah yang populer di sebut pacaran.
Masa muda adalah masa yang labil, masa yang penuh dengan bermacam penomena, masa dimana seorang anak manusia cenderung kearah pencarian jati diri, pengakuan dari individu luar, ingin tau banyak hal tentang kehidupan, serta membutuhkan rasa kasih sayang dari individu yang ia anggap mampu memberikan hal tersebut selain orang tua, yaitu lawan jenisnya. Salah satu penomena itu ialah yang populer di sebut pacaran.
Definisi
pacaran memiliki makna tersendiri serta dalam lingkup yang sangat luas, bahkan
bisa dikatakan “pacaran” bukan bahasa definitive yang bisa dipakai untuk mewakili
penomena yang terjadi terhadap muda mudi tersebut, karena
pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang sesuai dengan pengalaman
sosio-kulturalnya.
Asal kata “pacaran” dalam bahasa Indonesia
adalah “pacar”, yang memilki arti, ”kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih, yang kemudian mendapat imbuhan –an
atau ber-an yang arti harfiahnya “bercintaan”; (atau) “berkasih-kasihan”(dengan
sang pacar).
Kemudian
Wikipedia mendefinisikan kata “pacaran “sebagai proses perkenalan antara dua
insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan
menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan”, yang Pada
kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang
sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi
persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi yang semestinya
tidak mereka lakukan. Maka, tidak sedikit hal itu disalahartikan oleh kalangan
muda mudi yang mengidolakan pacaran tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan
yang sangat jauh dari norma sosial, kesopanan, apalagi agama.
Lalu bagaimana
islam sebagai agama menyikapi penomena ini, yang mau tak mau bisa saya katakan
remaja atau muda mudi islam saat ini hampir kebanyakan mereka menjalani lakon
diatas, baik yang islamnya hanya tertera di KTP sampai kalangan yang bisa
dikatakan memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup mumpuni seperti para
santri, ustadz, mahasiswa perguruan tinggi islam, aktifis islam, dan lain
sebagainya yang menggeluti dunia keislaman, dengan bermacam istilah lain yang
mereka gunakan dalam mengartikan hal tersebut.
Islam mengakui adanya rasa cinta
yang ada dalam diri manusia. Karena itu adalah fitrahnya. Ketika seseorang
memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa
cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya. Mari kita telusuri hal ini
dalam arti firmannya dibawah ini:
“Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa
perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas
dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran
:14).
Kitab
suci alqur’an tidak menafikan hal itu bukan? Tapi, cinta yang bagaimana termasuk
kategori diatas, yakni cinta yang mampu memberikan rasa indah dalam pandangan
manusia? Apakah cinta yang dibalut dengan istilah pacaran diatas
termasuk kategori ayat tersebut?
Sahabatku para
remaja muslim, dalam agama islam kita dianjurkan untuk menjaga pandangan dan
memilahara kemaluan agar kita tidak terjerumus kedalam lembah ajakan setan
laknatullah, karena setan selalu mengajak anak manusia untuk ingkar kepada Allah
dan syariat yang dibawa oleh utusannya Nabi besar Muhammad SAW. Hal ini dijelaskan
dalam al-qur’an:
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci
bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat".katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…..”(Qs.an-Nur:30-31)
Dalam ayat yang
lain kita dilarang mendekati zina.
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.(Qs.al
Israa’:32)
Setujukah
kalian wahai para remaja muslim, jika saya katakan pacaran itu adalah jalan (mendekati)
untuk melakukan perbuatan zina? Coba kita perhatikan apa saja yang sering
dilakukan oleh orang yang sedang berpacaran. Bukankah kalau berpacaran itu tak
jauh dari bermesraan, berdua-duaan di tempat gelap, saling berpegangan
tangan, ciuman atau berlukan, dan terakhir berbuat zina? Jika memang itu yang
terjadi, yuk kita simak dalam sabda Nabi:
“Janganlah sekali-kali
seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan
kecuali ditemani oleh mahram-nya”. (HR.Imam Bukhari)
Dalam hadits
riwayat Imam Ahmad, disebutkan pula:
“Janganlah sekali-kali
seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan yang
tidak halal baginya, karena orang yang ketiganya nanti adalah
syaithan, kecuali kalau ada mahramnya”.
Sahabatku
para remaja muslim, adakah pacaran tanpa hal-hal negative diatas? Tanpa
bermesraan, tanpa pegangan tangan, ciuman, pelukan dan seterusnya. Saya rasa tidak
ada, kenapa? Karena pacaran itu menurut saya hanya cinta kasih yang hanya
mengedepankan hawa nafsu belaka, keegoisan, dan rasa ingin memiliki saja. Remaja
muslim jangan tergiur oleh istilah pacaran islami, ta’aruf atau apalah
namanya. Karena tipu muslihat setan itu sangat halus saudaraku. Sungguh aneh jika
ada yang mengatakan “kita boleh berpacaran asal itu dilakukan secara islami, mencintai
kerena Allah”. Rasanya sangat lucu sekali jika selepas melakukan hubungan
vertikal kepada allah ( seperti sholat) kemudian kita melakukan hubungan horizontal
kepada sang pacar dengan bermesraan lewat telepon, sms, atau lewat jejaring
sosial. Sangat aneh jika setelah membaca mushaf kemudian kita membaca surat dari
sang pacar, pergi ke mejlis ta’lim berduan pakai motor, dsb. Akhirnya STMJ (Shalat Terus Maksiatpun Jalan) Naudzubillah min dzalik.
Janganlah
kita mencampuradukkan kebenaran dangan kebatilan hanya demi sang nafsu yang tak
pernah kenyang. Tundukkanlah pandangan terhadap lawan jenismu, agar kau bisa
selamat. Karena pandangan itu tak ubahnya seperti sebilah anak panah yang
beracun, jika kau lepaskan ia dari busurnya maka ia akan mengenai hatimu yang
selanjutnya akan membinasakanmu dengan racun tersebut. Ingatlah bahwa nafsu
hanya bisa dikalahkan dengan rasa takut kepada Allah, dengan mendektkan diri
kepadanya. Semoga Allah memelihara kita semua dari fitnah zaman ini. Aamin yaa
robbal a’alamiin
Tulisan ini telah dimuat di:http://www.dakwatuna.com/2012/02/18395/fenomena-pacaran-remaja-muslim/
Tulisan ini telah dimuat di:http://www.dakwatuna.com/2012/02/18395/fenomena-pacaran-remaja-muslim/
Putera Negeri Seribu Jembatan di Negeri Seribu Benteng
Negeri seribu jembatan, merupakan
julukan salah satu kabupaten
yang berada di provinsi Riau, Indonesia . Hal ini dikarenakan banyak sekali
terdapat jembatan di negeri ini, yang berfungsi sebagai penghubung jalan. Sebelumnya
negeri ini dijuluki Negeri Seribu Parit. Hal ini dikarenakan di negeri ini banyak terdapat
parit-parit yang sebagian berfungsi sebagai drainase pengairan dan tranfortasi
bagi masyarakat yang tinggal di negeri ini, untuk menghubungkan daerah yang satu
dengan daerah yang lain. Maka, tidak aneh kalau terdapat jembatan
dimana-mana. Itulah alasan kenapa akhirnya Negeri Sri Gemilang ini dijuluki Negeri Seribu Jembatan.
Indragiri Hilir, itulah
nama resmi kabupaten tersebut. Terletak di pantai Timur pulau Sumatera,
merupakan gerbang selatan Propinsi Riau, dengan luas daratan 11.605,97 km² dan
peraiaran 7.207 Km² berpenduduk kurang lebih 683.354 jiwa yang terdiri dari
berbagai etnis, diantaranya populasi
dengan jumlah yang cukup besar adalah suku Melayu, Jawa; Banjar, Bugis, dan
sebagian kecil suku-suku lainnya, dikelilingi perairan berupa sungai-sungai
besar dan kecil, parit, rawa-rawa dan laut, secara fisiografis Kabupaten
Indragiri Hilir beriklim tropis merupakan sebuah daerah dataran rendah yang
terletak diketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut dan dipengaruhi oleh
pasang surut.
Itulah sekilas pendeskripsian
tentang kabupaten Indragiri Hilir. Negeri Sri Gemilang, Negeri Seribu Jembatan, yang merupakan tanah kelahiranku. Di
sudut Negeri inilah, aku menghabiskan masa kanak-kanakku. Bermain
lumpur, berenang menyeberangi sungai-sungai; pergi menangkap ikan di laut dengan
mendayung sampan, memasang jebakan burung di hutan; pergi ke kebun atau ke sawah
membantu orang tua, dan berbagai aktifitas lain lumrahnya anak dusun aku
lakoni. Dari sudut Negeri ini pula, aku
mulai merajut serta mengukir mimpi-mimpiku. Pendidikan Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), aku
selesaikan di sebuah Pesantren yang yang ada di desa tempat aku tinggal bersama kakek-nenekku.
Sejak awal masuk sekolah, aku sudah terbiasa hidup mandiri, jauh dari
orang tua dan saudara-saudaraku. Aku lebih banyak tinggal bersama kakek-nenekku
di sebuah desa yang tak jauh dari Pesantren tempatku menimba ilmu agama dan umum. Terkadang, aku juga sering
berangkat ke sekolah dari dusun tempat orang tuaku tinggal, walau dengan
menempuh perjalanan yang cukup panjang, memakan waktu berjam-jam dengan
berjalan kaki serta menelusuri jalan setapak yang berlumpur ketika digilas
hujan, rumput-rumput liar sebahu menjulur ke bahu jalan yang selalu
memandikanku dengan air embun pagi. Namun, bersama teman-temanku dari dusun yang sama atau dari
dusun tetangga, kami tetap bersemangat menuju sekolah.
Hal yang sangat berkesan bagiku sampai saat ini, ialah kebersamaan kami
ketika berangkat ke sekolah dulu. Selalu bersama dalam satu
rombongan, saling menunggu ketika ada teman yang terlambat, berangkat ke sekolah
dengan canda tawa. Sehingga, jauhnya jarak yang kami tempuh, tak terasa membebani.
Begitulah kami anak-anak dusun yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, yang
saat itu sarana serta prasarana transfortasi sangat tidak memadai. Jangankan motor, sepedapun satu
dua orang yang punya. Namun, semua itu tak menyurutkan keinginan kami untuk
menghilangkan kebodohan dalam diri kami. Hujan, panas; babi hutan, atau bermacam
rintangan dalam perjalanan, tak pernah kami hiraukan, sampai akhirnya pendidikan
dasarpun kami selesaikan bersama.
Setelah menamatkan pendidikan dasar, aku kemudian melanjutkan
pendidikanku di sekolah atau pesantren yang sama di tingkat Tsanawiyah (SMP). Walaupun, banyak dari teman-temanku yang putus ditengah jalan. Namun, aku tak mau seperti
mereka. Kemauanku yang kuat, serta motivasi dari kedua orang tua, menjadikanku terus
berjuang walau dengan keadaan ekonomi orang tuaku
yang pas-pasan. Kerena aku sangat tau apa yang mereka inginkan dariku. Pengorbanan
yang mereka persembahkan untuk membiayai pendidikanku laksana bara yang selalu
membakar semangatku dalam meraih mimpi-mimpi, membuat mereka tersenyum bangga
padaku.
Masih terekam kuat dalam memoriku,ketika suatu pagi aku ingin
berangkat ke sekolah.ketika itu parit yang lebarnya sekitar empat meter penuh
oleh air pasang.sedangkan jembatan yang hanya terbuat dari sebatang kayu yang
diletakkan dipermukaan parit itu hanyut terbawa arus. parit itu sebenarnya
tidak terlalu dalam,tapi bagiku yang saat itu masih kecil tentu aku tidak dapat
menyeberanginya.melihat kondisiku itu,ayahku yang mau berangkat ke kebunpun
menghampiriku dan menyuruhku melepaskan sepatu serta seragam sekolahku ia
menyuruhku memegang dan mengangkat sepatu,seragam serta tas sekolahku
setinggi-tingginya. beliau menyuruhku manaiki pundaknya kemudian beliau
membawaku menyeberangi parit itu,beliau relakan pakaian beliau basah kuyup
hanya demi melihat anaknya tetap bisa pergi ke sekolah hari itu.
Terkadang, ketika aku membutuhkan uang lebih untuk keperluan
sekolah, disetiap tahun ajaran baru, untuk membeli buku atau membayar SPP, ayahku
yang hanya berprofisi sebagai petani kebun kelapa kopra itu, tak segan-segan
mengambil upah kerja dikebun tetangga. Bahkan, sering beliau mengambil upah
menebang pohon di hutan. Seolah tak peduli dengan bahaya yang
menghadang. Seperti babi hutan, ular besar, bahkan harimau yang sangat ditakuti. Hanya
demi beberapa kertas rupiah untuk memenuhi keperluan sekolahku.
Beliau sangat bangga kepadaku. Ia selalu bercerita kepada
masyarakat dusun yang ia temui akan prestasiku di sekolah, ketika aku bisa
mempersembahkan juara kelas hampir setiap acara pembagian rapor
kepadanya. Beliau selalu bilang kepada mereka ” tahun ini anakku juara kelas lagi ”. Ia juga selalu bercerita kepada mereka akan menyekolahkanku sampai sarjana. Padahal, secara kasat mata manalah mungkin ia melakukannya dengan kondisi ekonomi
yang pas-pasan sperti itu. Sedangkan, biaya kuliah sarjana itu tidak murah. Tapi, entahlah. Beliau sangat yakin menyampaikan hal itu. Tanpa terlihat keraguan dalam
dirinya. Ternyata miskin harta tak menjadikannya miskin jiwa dan
semangat. Ia selalu memberikan wejangan kepadaku, ”Nak, kamu bisa lihat
kondisi bapak sekarang? Bapak hanya seorang petani kelapa kopra. Mengambil
upah menebang pohon di hutan. Teman sehari-hari bapak adalah kampak dan paran. Kantor
bapak hanya kebun dan hutan. Kamu tahu kenapa bapak seperti sekarang? Ini karena
pendidikan bapak hanya sampai kelas tiga sekolah dasar. Oleh karena itu, bapak tak mau apa yang terjadi pada bapak sekarang, juga terjadi padamu. Bapak
yakin, kamu mampu sampai sarjana. Bapak akan berusaha sekuat yang bapak bisa
lakukan. Agar kamu tak seperti bapak. Bapak ingin melihatmu menjadi orang yang
sukses. Kerjamu hanya memegang sepatang pena. Temanmu hanya tumpukan kertas-kerta
dan buku-buku tebal dan kantormu di kota. Bukan dihutan seperti bapak sekarang.” Pesan inilah yang selalu
membakar semangatku.
Dipertengahan 2005, aku lulus sekolah menengah pertama. Tapi, karena latar
belakangku yang Terlahir Sebagai anak dusun. Menjadikanku bak katak dalam
tempurung. Tak punya wawasan yang luas tentang kehidupan diluar
sana. Jiwa dan alam pikiranku hanya berkutat di dusun dan desa tempat dimana aku
tinggal. Jangankan pergi rekreasi ke kota, beberapa dusun tetanggapun tak pernah aku
kunjungi. Hal inilah, yang menyebabkan aku pada awalnya tak ada keinginan lain
untuk meneruskan pendidikan SMA-ku, kecuali di pesantren tempat aku menyelesaikan
dua jenjang pendidikan formalku sebelumnya.
Namun, setelah mendengar
kabar ada beberapa temanku yang meneruskan pendidikan mereka ke pulau Jawa, membuat
aku iri. Keinginan seperti merekapun terbit dalam benakku. Tapi, keinginan itu
seolah hanya hayalan dalam diriku. Mana mungkin aku bisa seperti mereka. Dari
mana aku mendapatkan biaya untuk pergi kesana. Apakah orang tuaku mampu
memberikan pesangon setiap bulan untuk biaya pendidikanku di pulau Jawa nanti, jika ku paksakan untuk pergi kesana. Seribu pertanyaan terlintas dalam benakku
saat itu. Terlahir sebagai anak yang telah belajar mandiri sejak kecil, aku tak
mau membebani orang tuaku. Akhirnya, aku
meneruskan pendidikan Menengah Atas di sekolah yang sama. Keinginan merantau ke
ranah Jawa pun kusimpan dalam lubuk hati untuk sementara. Namun, rasa optimis
bisa mewujudkan impian itu tetap menyala dalam diriku.” apabila kamu memiliki
keinginan yang kuat maka bertawakkal-lah kepada allah ”. Dalam doa , kupasrahkan
asa itu kepada pemilik takdir kehidupanku, yang apabila ia berkehendak, tak
seorangpun mampu menghalanginya. Walaupun, secara kasat mata, aku tak mungkin
untuk merealisasikan mimpi itu. Tapi, dalam hati kecilku, aku selau yakin jika Allah merestui mimipi itu, pasti jalan akan terbentang luas di hadapanku. Dari
arah mana saja, tak ada yang mustahil bagiNya.
Seiring jarum jam yang terus berputar, mengubah hari menjadi
minggu, minggu berganti bulan, bulan berjumpa tahun. Kabar gembira itu datang
menemuiku. Ketika itu, aku sedang libur semester genap kelas dua aliyah. Libur itu
kugunakan untuk mengambil upah menggarap sawah milik tetangga. Petang itu aku
baru saja pulang dari sawah tersebut. Tiba-tiba, adik sepupuku datang ke rumah
menghampiriku. Dia katakan , kalau siang tadi, ketika aku di sawah, salah satu
ustadz mencariku, tanpa memberi tahu apa maksud beliau.
Keesokan harinya, ustadz yang diceritakan sepupuku tempo hari, berkunjung kerumahku. Ayah menyambutnya dengan ramah. Setelah aku menghampiri dan mencium tangan guruku itu. Kemudian, aku
disuruh duduk bersama mereka, di ruang tamu yang hanya beralas tikar lusuh itu. Ternyata, maksud kedatangan beliau
adalah untuk mengabarkan kepadaku. Bahwa, aku diangkat anak oleh salah satu
pejabat pemerintah kabupaten, yang
merupakan teman dekat ustadzku itu. Kata beliau, pejabat itu ingin
menyekolahkanku ke pulau Jawa.
Berita gembira ini, sontak membuat kedua kakiku lemas tak berdaya
sesaat. Tubuhku bergetar, menggigil seperti orang kedinginan. Ternyata do’a yang
ku panjatkan sejak aku duduk di bangku Tsanawiyah, lima tahun silam, diijabah
olehNya. Sungguh dahsyat, sebuah do’a yang dipanjatkan tanpa mengenal lelah dan
penuh keyakinan itu. Kini mimpi itu telah hadir di depan mata. Tinggal menunggu
keputusanku, apakah aku mau menangkap mimpi itu. Mimpi yang akan membawaku
terbang ke angkasa langit biru mengitari dunia.
Sebuah keputusan darikupun ditunggu. Aku yang saat itu telah duduk
di kelas dua aliyah, membuatku sedikit bimbang mengambil keputusan. Karena, sebentar lagi aku akan duduk di kelas tiga aliyah. Kelas akhir pendidikanku. Setahun
lagi aku akan lulus sebagai alumni pesantren tercinta itu. Namun, karena satu asa
untuk membuat kedua orang tuaku tersenyum bangga kepadaku, akupun mengiyakan tawaran
tersebut.
Tepat tanggal 20 juli 2007 jum’at sore, aku meninggalkan kampung
halaman tercinta, menuju ranah rantau di pulau Jawa. Kini tempurung yang menutupi
katak itu sudah dibuka. Sang katak pun dalam kebingungan menatap dunia barunya
yang ternyata sangat luas. Sebuah loncatan terjauh dalam hidupku. Awal
pengembaraanku menjelajah dunia. Perjalanan itu sangat berkesan bagiku. Bagaimana
tidak, aku laksana katak yang kebingungan itu kini menuju ibu kota
provinsi dengan perjalanan delapan jam menggunakan mobil yang dulunya tak
pernah terlintas dalam benakku. Semuanya serba pertama, pertama kali naik
mobil, pertama kali melakukan perjalanan terjauh menuju ibu kota; pertama kali
menginap di hotel berbintang, pertama kali naik pesawat. Pokoknya serba
pertama. Maklum, anak dusun.
Pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, membuat kebanggaan tersendiri dalam diriku. ”jakarta I’m
coming ” ucapku lirih. Perjalanan menuju penginapan di kota Jakarta memberikan persembahan
pemandangan luar biasa kepadaku. Hiruk pikuk kota Jakarta dan gedung-gedung
tinggi pencakar langit sekali lagi membangunkan sang katak yang masih dalam
kebingungan itu. Ternyata itu Monas, ternyata itu Istiqlal-masjid terbesar di
asia tenggara itu, dan ribuan ternyata lainnya. Setelah satu hari aku di salah
satu hotel ibu kota, kini aku pindah kesebuah apartemen yang tak jauh
dari hotel tersebut.
Setelah hampir satu minggu aku di Jakarta, akupun dihantar melanjutkan
perjalan menuju salah satu pesantren modern yang berada di kota Bogor. Tepatnya
perbatasan antara Bogor-Sukabumi. Sekitar jam tujuh malam aku menginjakkan kaki
untuk pertama kalinya di pesantren tercinta itu. Udara dingin khas kota Bogor
menyambut kedatanganku. Suasana megah pesantren yang dihiasi indahnya
lampu-lampu terang membuatku takjub. Jauh berbeda dengan pesantrenku di dusun
dulu. Lalu-lalang santriwan dan santriwati menumbuhkan semangat baruku untuk
segera bergabung dengan mereka, menimba ilmu di pesantren itu.
Keesokan harinya, status kesanterianku di pondok itupun dimulai. Hidup
dengan penuh disiplin peraturan, aktivitas yang terjadwal rapi oleh
bunyi bel yang menandakan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain full
time dua puluh empat jam; berbicara dengan bahasa Arab dan Inggris, berjibaku
dengan kitab dan kamus-kamus besar; belajar bagaimana berorganisasi dengan motto”siap
memimpin dan dipimpin” dan berbagai aktivitas lain layak seorang santri di
pesantren modern menjadi rutinitas harianku. Di pesantren baruku inilah aku
banyak belajar tentang makna kehidupan, dan di pesantren ini juga aku mengukir
mimpi baru untuk terbang lebih jauh mengejar mimpi keluar negeri. Berbekal
keyakinan doaku yang dijawab oleh Allah sampai aku bisa mondok di pulau Jawa
ini. Tanpa ragu sedikitpun aku kembali memunajat, mengirim doa kepadaNya agar aku
diberi kesempatan sekali lagi untuk meneruskaan pendidikanku keluar negeri.
Sekali lagi, jarum jam yang berputar cepat telah menghantarkanku
di hari yang paling kutunggu selama empat tahun nyantri di kota hujan. Hari
itu tak lain ialah wisuda santri
angkatan sepuluh. Tepat pada tanggal 28 mei 2011, aku diwisuda. Pencarian informasi
beasiswa keluar negeripun semakin aktif kulakukan. Mulai dari mengirim surat ke beberapa
kedutaan besar Negara timur tengah yang ada di Jakarta sampai ikut tes langsung
dengan tujuan beberapa Negara yang menyediakan beasiswa ke Negara mereka
Kerja kerasku akhirnya memberikan hasil yang manis, Allah memang
maha mendengar. Sekali lagi, doa yang selalu kupanjatkan kehadiratNya dalam
setiap sujudku kembali dikabulkan. Satu mimpiku kembali ia restui. Kuliah keluar
negeri. Tiga bulan yang lalu aku terbang menuju tanah kelahiran sang pengembara
muslim dunia Ibnu Batuthah. Maroko atau Maghribi, Negeri yang disebut Matahari Terbenam yang juga dijuluki Negeri Seribu Benteng. Sungguh dahsyat sebuah mimpi
yang selalu disertai dengan kerja keras dan doa yang penuh keyakinan. Oleh
kerena itu, teruslah bermimpi setinggi-tingginya, kawan. Karena Allah selalu
mendengar mimpi-mimpimu, dan akan merestui satu persatu dari ribuan mimpi itu, jika kau sertai dengan kerja keras dan doa penuh keyakinan kepadanya.
Cerita ini telah di muat di:http://motivasibeasiswa.org/2012/01/herdiansyah-el-smdsh-ihsan-mimpi-doa-kerja-keras-semuanya-menjadi-mungkin/