Suatu hari, di sebuah taman kota di negeri antah berantah. Sang
Mimpi marah besar kepada Malas. Hal itu karena Sang Malas ia anggap sebagai
musuh terbesarnya sejak berabad-abad lalu. Entah berapa Mimpi yang tenggelam
sirna oleh Kemalasan. Kemalasan telah membuat Mimpi-Mimpi itu membeku karena
tak terjamah oleh pemiliknya.
"Sungguh
terkutuk kau Malas! kenapa kau tak enyah saja dari kehidupan ini. Biar Mimpi-Mimpi
itu dapat menjamah realita-realita mereka. Kau seolah tak pernah puas membuat
pemilik-pemilik kami frustasi, berteman dengan halusinasi di bangsal-bangsal
rumah sakit jiwa. Bahkan, tak sedikit yang terbujur kaku. Bunuh diri."
"Tidakkah
engkau kasihan terhadap pemilik Mimpi-Mimpi itu. Mereka terbujur kaku dalam
halusinasi masa depan yang pernah mereka semai. Apa dosa mereka padamu, Malas? Engkau sungguh kejam." Sang Mimpi meluahkan isi hatinya tanpa jeda pada Sang
Malas yang dari tadi berbaring santai diatas rerumputan hijau taman kota.
Sambil bangkit dari tidur-tiduran malasnya sekaligus tanpa merasa
bersalah, Sang Malas berujar santai saja. "Engkau ini bagaimana wahai Mimpi. Bersumpah serapah begitu kasar padaku. Kenapa kau selalu megkambinghitamkanku. Salahkan para pemilikmu itu. Mereka sendiri yang selalu memujiku dalam setiap
detik-detik mereka."
"Mereka bisanya
hanya berceloteh, -aku ingin sukses, aku ingin kaya; aku ingin jadi orang besar,
bahkan ada yang berujar-aku ingin bahagia dunia akhirat-. Tapi nyatanya
mereka tak mau bergerak untuk berbuat. Menjalani proses Mimpi Mimpi meraka itu.
"Asal kamu tahu
wahai Mimpi. Setelah mereka berceloteh seperti itu, mereka malah memcumbuku,
memelukku erat, seakan aku adalah kekasih abadi mereka."
"Bukankah Tuhan pernah
berkata wahai mimpi. Bahwa, Dia tidak akan merubah kondisi suatu kaum kecuali
mereka sendiri yang mau merubahnya."
"Kau jangan lagi
mengkambinghitamkanku wahai Mimpi. Ini memang hidupku. Tak ada Mimpi yang
menjadi nyata bersamaku. Mimpi itu akan busuk jika selalu memegang erat
tanganku."
"Jadi, siapa
yang harus enyah dari dunia ini. Engkau wahai sang Mimpi, atau para pemilikmu
itu. Silahkan kalian berdamai, Atau silahkan tinggalkan aku." Balas Sang Malas dengan
panjang lebar sambil mengumbar senyum kemenangan. Merasa dialah yang paling
berhak tinggal di kolong langit ini.
Saat Sang Mimpi
dan Sang Malas berceloteh saling menyalahkan. Datang Sang Semangat mengahampiri, Mengajak Sang Mimpi menjauh dari Sang Malas. Sambil menggenggam tangan Sang Mimpi,
Sang Semangat berujar, "Sudahlah kawan! tak ada gunanya kau meladeni Si
Malas ini. Hanya membuang-buang waktu saja. Ingatlah dia memang diciptakan
untuk menghancurkan kita dan para pemilik kita. Biarkan dia bersama si Pemalas membuat
muram dunia ini. Masih banyak diluar sana Sang Pemimpi yang selalu mengharapkan
kehadiran kita berdua. Menemani mereka merubah dunia, menemani mereka menuju
kebahagian hakiki. Kebahagian abadi yang mereka idam-idamkan."
"Selamat tinggal
Malas! Kau dan si Pemalas takkan berarti tinggal di kolong langit ini. Kalian
hanya sampah yang selalu mengotori dinamika kehidupan kami." Ucap Sang
Semangat sambil berlalu meninggalkan Sang Malas yang sedari tadi berdiri
mematung.
Maroko,25/5/13
Dalam jihad melawan kemalasan
menuju medan perang Imtihan.
0 komentar:
Posting Komentar
kritik dan saran yang konstruktif selalu kami tunggu dari para pembaca yang budiman,,,,,!!!