Cerita
ini berawal ketika aku mendapat kabar kelulusan beasiswa ke Negeri Matahari Terbenam, Maroko. Sekaligus hari keberangkatan ke Negara tersebut dari
kementerian agama pusat, Jakarta. Setelah hampir dua bulan aku beserta
teman-teman yang lulus tujuh belas besar menunggu kabar kelulusan terakhir
tersebut. Dari tujuhbelas berkas yang dikirim ke Kerajaan Maroko melalui
kedutaan mereka di Jakarta, akan diseleksi lagi
menjadi limabelas peserta. Hal itu, karena jatah beasiswa dari Kerajaan Maroko
untuk mahasiswa Indonesia yang mengambil strata satu hanya limabelas orang untuk
setiap tahunnya. Akupun berdoa selalu
dalam setiap sujud malam, agar aku termasuk salah satu dari limabelas peserta yang
beruntung tersebut.
Malam
itu, kabar yang ditunggu pun tiba. Sekitar jam Sembilan malam, handphone-ku
berdering, ada pesan yang masuk. Ternyatapesan
itu dikirim oleh temanku yang berasal dari Madura, salah satu peserta yang lulus
tujuh belas besar beasiswa Kerajaan Maroko tahun ini. Bunyi pesan itu:
”mabruk ya akh, antum maqbul beasiswa yang ke Maroko. Tadi ana baru ditelepon pak Iwan. Tapi, info di website KEMENAG tidak keluar malam ini. Dari tujuhbelas berkas peserta yang dikirim, yang diterima limabelas orang. Dua orang yang "gugur" ana sama habib yang dari Sukabumi. Penyebab ketidaklulusan itu karena kami lulusan 2009. Sedangkan, yang diterima hanya lulusan tahun 2011. Tapi tidak apa-apa, mungkin saya jadi ke Sudan dan Habib ke Mesir. Tetap saling mendoakan. Semoga bisa sama-sama sukses, amin."
”mabruk ya akh, antum maqbul beasiswa yang ke Maroko. Tadi ana baru ditelepon pak Iwan. Tapi, info di website KEMENAG tidak keluar malam ini. Dari tujuhbelas berkas peserta yang dikirim, yang diterima limabelas orang. Dua orang yang "gugur" ana sama habib yang dari Sukabumi. Penyebab ketidaklulusan itu karena kami lulusan 2009. Sedangkan, yang diterima hanya lulusan tahun 2011. Tapi tidak apa-apa, mungkin saya jadi ke Sudan dan Habib ke Mesir. Tetap saling mendoakan. Semoga bisa sama-sama sukses, amin."
Pesan
dari kawanku ini, membuatku reflek melakukan sujud syukur atas karunia luar
biasa yang kembali Allah berikan kepadaku. Perjuanganku bolak-balik Jakarta-Riau
untuk mengikuti tes beasiswa tersebut, kini terbayar sudah. Sungguh engkau Maha
mendengar akan doa dan mimpiku ya Allah. Setelah bangun dari sujud, aku langsung
teringat sebuah peristiwa empat tahun silam. Ketika aku mengambil sebuah
keputusan yang awalnya kuanggap sebagai kesalahan terbesar dalam hidupku.
Saat
itu, aku sedang duduk di kelas dua Aliyah. Pada salah satu pesantren tertua di
tempatku. Libur akhir semester genap tepatnya. Dalam masa transisi naik ke kelas
tiga Aliyah, aku ditawari beasiswa oleh pemerintah PEMDA daerah untuk masuk
salah satu pesantren modern yang ada di kota Bogor, Jawa Barat. Tawaran beasiswa itu
awalnya hanya untuk adik kelasku yang baru menyelesaikan
pendidikan menengah pertama (Tsanawiyah). Namun, karena orang tuanya enggan
melepaskan anak semata wayangnya, pimpinan pondokpun mengambil inisiatif agar
aku bersedia menggantikannya. Kata beliau, sayang kalau beasiswa itu ditolak. Karena
ini tawaran beasiswa pertama dari PEMDA untuk pesantren kami itu.
Dalam
menanggapi tawaran itu, akupun butuh waktu panjang untuk berpikir. Apa mungkin
aku mengulang kembali pendidikanku yang satu tahun lagi akan selesai itu ke
jenjang awal kelas satu aliyah jika aku mengiyakan beasiswa tersebut. Aku
sungguh ragu saat itu, orang tuaku menyerahkan semua itu kepada
keputusanku. Dalam kondisi seperti itu, shalat istikharahpun ku lakukan untuk
meminta keputusan terbaik dari Sang penentu segala takdir terbaik anak manusia.
Setelah
hampir satu bulan, keputusan itupun ku ambil dengan mengiyakan tawaran tersebut, tentu
dengan pertimbangan yang sangat matang menuruku saat itu. Pertualangan anak
rantau ke kota hujan pun dimulai. Dengan menempuh perjalanan beberapa hari, dan terasa sangat melelahkan, aku pun
sampai di kota hujan, Bogor.
Awal
pertama menjadi santri sebuah pesantren modern di kota itu, aku merasa shock. Karena
deskripsiku tentang sebuah pesantren di pulau Jawa dengan realita yang ku dapati
saat itu, hampir bisa dikatakan delapan puluh persen salah, alias tidak tepat. Hidupku
bagai di sebuah penjara suci. Penuh dengan disiplin peraturan. Mengantri dalam
setiap aktivitas yang tak pernah ada kompromi waktu sedikitpun.Terlambat
beberapa detik saja, hukuman siap menantiku.
Menghadapi realita yang ada saat itu, membuatku menyesal luar biasa telah mengambil keputusan itu. Aku yang tadinya akan lulus satu tahun lagi, kini harus menunggu masa empat tahun lagi dengan kehidupan yang sangat menyiksa batinku itu. Sungguh rasa tidak betah, dan ingin kembali ke kampung halaman selalu menghantui hari-hariku. Beruntung saat itu, aku memiliki seorang wali kelas yang selalu membimbing dan membantuku beradaptasi dengan kondisi seperti itu, walaupun tidak mudah nyatanya. Tapi, paling tidak sedikit membantuku untuk bertahan, yang akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa. Ternyata, aku mampu bertahan selama empat tahun, dan kemudian akhir bulan Mei , sekitar Sembilan bulan yang lalu aku menjadi alumni angkatan kesepuluh pesantren tersebut.
Menghadapi realita yang ada saat itu, membuatku menyesal luar biasa telah mengambil keputusan itu. Aku yang tadinya akan lulus satu tahun lagi, kini harus menunggu masa empat tahun lagi dengan kehidupan yang sangat menyiksa batinku itu. Sungguh rasa tidak betah, dan ingin kembali ke kampung halaman selalu menghantui hari-hariku. Beruntung saat itu, aku memiliki seorang wali kelas yang selalu membimbing dan membantuku beradaptasi dengan kondisi seperti itu, walaupun tidak mudah nyatanya. Tapi, paling tidak sedikit membantuku untuk bertahan, yang akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa. Ternyata, aku mampu bertahan selama empat tahun, dan kemudian akhir bulan Mei , sekitar Sembilan bulan yang lalu aku menjadi alumni angkatan kesepuluh pesantren tersebut.
Setelah
resmi dinyatakan lulus dari pesantren tersebut, aku mencoba mengikuti tes
beasiswa ke Maroko di Kementerian Agama pusat, sekitar bulan Juli yang
lalu. Setelah seleksi semua berkas yang masuk, kemenag mengumumkan tiga puluh
peserta yang lulus sesuai persyaratan, yang kemudian akan dilanjutkan dengan tes
interview untuk menentukan limabelas peserta yang akan diberangkatkan sesuai
jatah yang diberikan oleh Kerajaan Maroko.
Setelah
tes interview selesai, pihak kemenag mengumumkan limabelas peserta yang lulus
beserta empat orang cadangan, sekaligus menentukan batas terakhir pengumpulan
berkas-berkas yang harus kami terjemahkan kedalam bahasa arab, untuk diserahkan ke perwakilan kerajaan maroko di
Jakarta, yang selanjutnya akan dikirim ke setiap Universitas yang ada di Maroko. Setelah
dilakukan pengumpulan berkas terakhir itu, ternyata dua peserta dari empat
peserta cadangan ikut mengumpulkan berkas. al-hasil berkas yang diajukanpun
menjadi tujuhbelas peserta, itu artinya dua peserta dari kami harus siap
tereliminasi.
Pesan
(sms) dari temanku malam itu, benar-benar membuatku mengerti kenapa dulu aku
ditakdirkan mengiakan tawaran beasiswa tersebut. Aku tak tahu, apa yang akan
terjadi jika dulu aku tetap melanjutkan
sekolah di kampung yang tinggal setahun itu. Tentunya, beasiswa yang sekarang
ku jalani di Negara yang dijuluki Negeri Matahari Terbenam ini, " jauh
panggang dari api " Mungkin aku akan senasib dengan dua temanku yang
tereliminasi diatas. Namun, sekarang tabir itu terbuka sudah. Misteri Allah
empat tahun silam terkuak kepermukaan.
Aku bisa lulus termasuk lima belas peserta yang beruntung itu, karena
sebab keputusan itu. Sebab yang memberikan efek akibat yang luar biasa bagiku.
Sunnatullah selalu mengandung sebab akibat, tanpa sebab tidak akan ada akibat.
“…boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak Mengetahui.(QS.al-baqarah:216).
Rencana Allah itu memang indah, bahkan terlalu sangat indah. Kita manusia hanya bisa
berencana. Namun, Allah-lah yang akan mengeksekusi rencana tersebut. Kita punya
kehendak, Allah punya kehendak, dan yang terjadi adalah kehendaknya, yang
terkadang sangat bertentangan dengan kehendak kita. ketika kita meminta
kupu-kupu yang indah, Allah terkadang hanya mengasih kita kepompong. Namun, jika
kita sabar dan berserah diri terhadap keputusannya, kepompong itu akan berupah
menjadi kupu-kupu nan indah. Bahkan , mungkin lebih indah dari kupu-kupu yang kita
minta. Pelajaran ini membuatku yakin bahwa apapun yang terjadi dalam
hidupku, baik sedih atau bahagia, pasti ada hikmah didalamnya. Oleh karena itu, aku
selalu berusaha menerima dengan lapang dada apa yang telah Allah gariskan dalam
hidupku. Berusaha sabar dan terus bertawakkal setelah berusaha semaksimal
mungkin. Aku juga yakin, jika semua anak manusia memahami makna ini, maka tak akan
pernah terlihat kesedihan atau kepedihan dalam diri setiap anak manusia. Karena
ia tahu, semua itu pasti yang terbaik baginya, jika tidak di dunia, pasti
di akhirat ia akan merasakannya, dengan syarat tetap tawakkal, serta berusaha
semaksimal yang ia bisa. Wallu a’lam bisshowab.