Aku mengenalnya
sepintas saja, pernah bersapa sekedar sapa apa adanya, hanya seperlunya. Tak kurang
tak lebih. Aku tak pernah menyapanya lebih banyak, bukan aku tak mau atau tak
berani, tapi aku menghormatinya. Dia begitu bersahaja, menjaga pandangan,
pakaian dan tutur kata. Jadi, mana mungkin aku merusak semua keindahan itu. Aku
tak ingin keanggunan busana dan tutur katanya ternodai oleh tingkah lakuku.
Dia ibarat permata
berlapis kaca, tak ada yang bisa menyentuhnya, karena ia sangat istimewa. Tapi entah
kenapa, tegur sapa ala kadarnya itu membuatku kelimpungan, seolah baru menyapa
sang ratu bertahta. Terkesan sekali aku dibuatnya.
Sampai saat ini,
aku hanya mampu menatap dan menyapanya dari jauh, jauh sekali, dari lubuk hatiku
yang terdalam.
Dia membuatku
mengaguminya terlalu berlebihan, sampai aku tak mampu memahami, apakah ini
kekaguman yang wajar, atau ini yang mereka sebut Cinta itu.
Cinta? Ah,
kata-kata itu terlalu klasik untukku. Kata-kata yang telah lama kudengar,
dengan sejuta definisinya. Tapi, jujur, aku tak pernah memahami bagaimana citrarasa
makhluk yang bernama Cinta ini, apalagi mendefinisikannya dalam
versiku sendiri. Aku buta tentang rasa ini.
Tentang Cinta,
sebenarnya banyak teman yang mengajariku, katanya cinta itu indah, cinta itu
sahdu mendayu. Bahkan, Habiburrahman el-shirazy Sang penulis novel-novel
tentang cinta yang sangat kukagumi itupun ikut mengajariku tentang cinta, kata
beliau:
CINTA adalah KEKUATAN yang mampu
mengubah duri jadi mawar,
mengubah cuka jadi anggur,
mengubah malang jadi untung,
mengubah sedih jadi riang,
mengubah setan jadi nabi,
mengubah iblis jadi malaikat,
mengubah sakit jadi sehat,
mengubah kikir jadi dermawan,
mengubah kandang jadi taman,
mengubah penjara jadi istana,
mengubah amarah jadi ramah,
mengubah duri jadi mawar,
mengubah cuka jadi anggur,
mengubah malang jadi untung,
mengubah sedih jadi riang,
mengubah setan jadi nabi,
mengubah iblis jadi malaikat,
mengubah sakit jadi sehat,
mengubah kikir jadi dermawan,
mengubah kandang jadi taman,
mengubah penjara jadi istana,
mengubah amarah jadi ramah,
mengubah
musibah jadi muhibbah,
itulah CINTA.
itulah CINTA.
Dalam puisi
selanjutnya, beliau menyadari bahwa tak ada yang mampu mendefinisikan cinta secara
utuh, sama sepertiku yang bahkan tak pernah mampu sama sekali mendefinisakan
cinta dalam versiku. Ini pengakuan jujur beliau itu" Sekalipun CINTA telah
kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar. Namun jika CINTA kudatangi,
aku jadi malu pada keteranganku sendiri. Meskipun lidahku telah mampu
menguraikan dengan terang. Namun tanpa lidah, CINTA ternyata lebih terang.
Sementara pena begitu tergesa gesa menuliskannya. Kata kata pecah berkeping
keping begitu sampai kepada CINTA. Dalam menguraikan CINTA, akal
terbaring tak berdaya. Bagaikan keledai terbaring dalam Lumpur. CINTA sendirilah
yang menerangkan CINTA dan perCINTAan.
Jika membuka
lembaran masa lalu, sepertinya sudah beberapa kali aku pernah mengagumi lawan
jenis yang sebaya atau beberapa tahun lebih muda dariku. Tapi entah kenapa,
yang ini sepertinya lain. Aku seolah mengagumi semua sisi darinya. Tentang senyumnya,
tawanya, sapanya, busananya, akhlaknya, dan lain-lainnya, begitu banyak. Tapi sekali
lagi, aku telah bertekad takkan mengusiknya, apapun namanya. Biar rasa ini
berlalu begitu saja. Aku tak berhak mencurahkan rasa ini kepadanya, jika aku tak
mampu menatapnya lebih lama dalam tatapan yang halal. Jarak masa begitu membentang
jauh jika aku mengutarakan rasa ini dalam lembaran pinangan dan kemudian memintanya menunggu untuk sebuah akad suci itu. Karena aku
masih punya asa untuk kedua orangtuaku. Untuk membahagiakan mereka terlebih
dahulu. Tak ada kebahagianku sebelum kebahagian kedua orang tuaku. Itu komitmenku
tempo dulu yang takkan pernah kuingkari.
Jujur saja, aku
tak ingin meraba rasa ini terlalu dalam, karena takut ia hanya sekam yang akan
membakarku jika terpercik api-api nafsu itu. Aku berusaha untuk selalu menghindar
darinya, walau terkadang aku tak mampu berkutik kala rindu dan bayang-bayang itu menyambangi
dalam sepi.
Sudahlah, aku
tak mampu berbuat banyak, menghapus virus ini terlalu kusar bagiku,
membiarkannya tetap bersarang dalam hati juga hanya akan membuatku semakin
beku. Biarlah semua ini mengalir pada arusnya, berotasi pada orbitnya. Untuk saat
ini, aku hanya mampu mengatakan" aku sungguh mengagumimu" itu saja. Tak
mau berharap lebih. Tak mau berjanji-janji surga.
Terakhir, jika
benar ini cinta, ia akan kuserahkan pada takdirNya. Jika catatan di Lauh
Mahfuzd itu, aku bersamanya nanti, maka dia pasti ada dihujung penantian,
namun jika catatan takdir itu, aku bukan bersamanya, pasti orang yang lebih
baik dariku, yang lebih beruntung dariku, yang lebih pantas dan siap dariku
akan menemukannya. Biar rasa ini hanya jadi rahasia antara aku dan Tuhanku. Dalam
misteri sebuah rasa. Pada makhluk halus bernama Cinta.
Di malam yang mulai menghangat,
Maroko, 8/5/2013.
0 komentar:
Posting Komentar
kritik dan saran yang konstruktif selalu kami tunggu dari para pembaca yang budiman,,,,,!!!