Lembayung
senja mengukir mahligai cinta. Raja Siang berarak keperaduan. Ratu Malam
hampir selesai berias. Aku menunggunya untuk menemaniku menghabiskan malam ini.
Aku mau ia menemaniku menghatamkan satu dua bait syair lagi, agar syair-syair yang
mulai ku rajut sore tadi tersulam sempurna.
Si Ratu Malam bertengger anggun di suasana langit sunyi senyap. Bala
tentaranya ribuan bintang gemintang menambah sempurna kerajaan langit malam.
Singgasana indah, seindah ukiran bait-bait malam itu.
malam
itu aku menulis sebuah puisi sederhana untuk si dia di seberang benua
sana, lewat bait-bait romantis itu aku bercerita tentangku yang di perantauan.
“Merindu beku itu dilemamaku” ku sampaikan padanya. Ceritaku itu tak berujung.
Sama seperti rinduku yang tak pernah berakhir. Merajut episode demi episode. Mungkin suatu saat menjadi
Roman terbaik dunia abad modern ini. Itu hanya sebuah khayalan. Aku sedang
meracau. Jangan dipercaya.
Entah
kenapa, malam itu cukup menghibur si bujang yang sedang melabuh rindu
ini. Mungkin sinar purnama itu yang menjadikan kami seolah-olah sangat dekat.
Memandang si purnama yang sungguh menawan.
Lewat
bait-bait puisi malam itu, ku bisikkan juga kalimat rindu berkeping rindu.
“rinduku tak bertepi. Layaknya
Atlantis. Samudera indah nan perkasa. Dekat tempatku melabuh asa saat ini”.
kataku lagi pada bait-bait syair berikutnya.
Sayup-sayup
kudengar sang Ratu Malam menyapaku. “Hai, sedang apa disana. Apa yang kau tulis
dalam lembaran-lembaran kertas putihmu itu”. Agak sedikit kaku dan malu, aku
menjawab. “Aku sedang membuat puisi rindu untuknya yang di seberang sana. Rindu
yang memasungku berhari-hari ini. Rindu yang membuat hari-hariku semakin
panjang. Membuat malam-malamku seolah tak mau berjumpa pagi. Membuat tidurku
selalu mengigau namanya. Bahkan, membuat tubuhku tak mampu berdiri tegak. Derita
separuh jiwa berada di seberang ”.
Dengan
penuh senyum, sang Ratu Malam menggodaku. “ oh, indah sekali kisah rindumu itu,
kau membuatku iri saja. Aku juga sedang merindu, bahkan selalu merindu”
katanya.
Tanpa
ku pinta, sang Ratu Malam pun bercerita tentangnya. Tentang kisah rindu kepada
sang Raja Siang. Rindu yang sangat-sangat rindu. Entah kapan bisa terobati.
Katanya,
mereka berdua tak pernah bertemu bertatap muka, apalagi bertegur sapa. “Tapi
aku sangat yakin si Raja siang juga pasti sangat merinduiku, rindu ingin
bertemu”. Lanjutnya, penuh harap.
Lalu
ku memberanikan diri bertanya. “ Dari mana kau tau, kalau sang Raja Siang juga
merinduimu”. “Dari semburat mega merahnya dikala senja, dari raut sinar harapan
di pagi hari saatku meninggalkannya pergi ke belahan bumi lainnya”. Katanya
dengan yakin.
“Berarti
malam ini kita sama-sama merindu, merindu walau tak pernah bertemu” kataku pada
sang Ratu Malam.”iya, betul sekali”. Jawabnya pendek.
“Lalu
bolehkah ku titipkan padamu salam rindu untuknya di seberang sana, yang juga
sedang menatap indahmu dari kejauhan. Sama sepertiku saat ini”. Pintaku pada
sang Ratu Malam.
Sampaikan
padanya, jangan lelah menungguku. Jangan risau dengan janjiku. Jangan berhenti
merinduku. Sampai Tuhan mempertemukan kita dalam rahman dan rahimNya.
Dalam mahligai ridhoNya.
Sampaikan
juga padanya. Bahwa, aku disini sedang mempersiapkan diri untuk menjadi imam
terbaik dalam hidupnya kelak. Mempersiapkan diri agar mampu menjadi nahkoda
yang tangguh untuk kapal pelayaran kami esok hari. Katakan, bahwa aku takkan pernah berhenti
merindunya, sampai pertemuan itu terjadi.
Malam
semakin kelam. Udara semakin membeku. Bait-bait syair tersulam sempurna. Aku
beranjak pergi meninggalkan sang Ratu Malam yang masih dalam rindunya. Sebelum
langkahku sempurna meninggalkannya. Sang Ratu Malam menitipkan salam rindu
untuk sang Raja Siang. “Salam rindu abadi” ucapnya. Akupun mengangguk
tersenyum. “iya, insya Allah. Jika Tuhan masih mengizinkanku bertemu siang esok
hari”.
Azan
subuh dari menara segi empat membangunkan mimpiku. Selimut tebal yang membalut
tubuhku ternyata tak mampu berkutik disergap sang dingin. Tubuhku tetap
menggigil dibuatnya.
Ku
langkahkan kaki menuju kamar mandi. Ku basahi anggota wudhuku dengan air hangat
yang sedikit membantuku melawan dingin dan kantuk. Ku hamparkan sajadah biru
muda itu. Dalam sujud ku pinta padaNya. “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah untuk
kami isteri-isteri dan anak keturunan kami yang menjadi penyejuk mata kami, dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Furqan:
74).
Maroko, 7/2/2013.
0 komentar:
Posting Komentar
kritik dan saran yang konstruktif selalu kami tunggu dari para pembaca yang budiman,,,,,!!!