Negeri seribu jembatan, merupakan
julukan salah satu kabupaten
yang berada di provinsi Riau, Indonesia . Hal ini dikarenakan banyak sekali
terdapat jembatan di negeri ini, yang berfungsi sebagai penghubung jalan. Sebelumnya
negeri ini dijuluki Negeri Seribu Parit. Hal ini dikarenakan di negeri ini banyak terdapat
parit-parit yang sebagian berfungsi sebagai drainase pengairan dan tranfortasi
bagi masyarakat yang tinggal di negeri ini, untuk menghubungkan daerah yang satu
dengan daerah yang lain. Maka, tidak aneh kalau terdapat jembatan
dimana-mana. Itulah alasan kenapa akhirnya Negeri Sri Gemilang ini dijuluki Negeri Seribu Jembatan.
Indragiri Hilir, itulah
nama resmi kabupaten tersebut. Terletak di pantai Timur pulau Sumatera,
merupakan gerbang selatan Propinsi Riau, dengan luas daratan 11.605,97 km² dan
peraiaran 7.207 Km² berpenduduk kurang lebih 683.354 jiwa yang terdiri dari
berbagai etnis, diantaranya populasi
dengan jumlah yang cukup besar adalah suku Melayu, Jawa; Banjar, Bugis, dan
sebagian kecil suku-suku lainnya, dikelilingi perairan berupa sungai-sungai
besar dan kecil, parit, rawa-rawa dan laut, secara fisiografis Kabupaten
Indragiri Hilir beriklim tropis merupakan sebuah daerah dataran rendah yang
terletak diketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut dan dipengaruhi oleh
pasang surut.
Itulah sekilas pendeskripsian
tentang kabupaten Indragiri Hilir. Negeri Sri Gemilang, Negeri Seribu Jembatan, yang merupakan tanah kelahiranku. Di
sudut Negeri inilah, aku menghabiskan masa kanak-kanakku. Bermain
lumpur, berenang menyeberangi sungai-sungai; pergi menangkap ikan di laut dengan
mendayung sampan, memasang jebakan burung di hutan; pergi ke kebun atau ke sawah
membantu orang tua, dan berbagai aktifitas lain lumrahnya anak dusun aku
lakoni. Dari sudut Negeri ini pula, aku
mulai merajut serta mengukir mimpi-mimpiku. Pendidikan Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), aku
selesaikan di sebuah Pesantren yang yang ada di desa tempat aku tinggal bersama kakek-nenekku.
Sejak awal masuk sekolah, aku sudah terbiasa hidup mandiri, jauh dari
orang tua dan saudara-saudaraku. Aku lebih banyak tinggal bersama kakek-nenekku
di sebuah desa yang tak jauh dari Pesantren tempatku menimba ilmu agama dan umum. Terkadang, aku juga sering
berangkat ke sekolah dari dusun tempat orang tuaku tinggal, walau dengan
menempuh perjalanan yang cukup panjang, memakan waktu berjam-jam dengan
berjalan kaki serta menelusuri jalan setapak yang berlumpur ketika digilas
hujan, rumput-rumput liar sebahu menjulur ke bahu jalan yang selalu
memandikanku dengan air embun pagi. Namun, bersama teman-temanku dari dusun yang sama atau dari
dusun tetangga, kami tetap bersemangat menuju sekolah.
Hal yang sangat berkesan bagiku sampai saat ini, ialah kebersamaan kami
ketika berangkat ke sekolah dulu. Selalu bersama dalam satu
rombongan, saling menunggu ketika ada teman yang terlambat, berangkat ke sekolah
dengan canda tawa. Sehingga, jauhnya jarak yang kami tempuh, tak terasa membebani.
Begitulah kami anak-anak dusun yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, yang
saat itu sarana serta prasarana transfortasi sangat tidak memadai. Jangankan motor, sepedapun satu
dua orang yang punya. Namun, semua itu tak menyurutkan keinginan kami untuk
menghilangkan kebodohan dalam diri kami. Hujan, panas; babi hutan, atau bermacam
rintangan dalam perjalanan, tak pernah kami hiraukan, sampai akhirnya pendidikan
dasarpun kami selesaikan bersama.
Setelah menamatkan pendidikan dasar, aku kemudian melanjutkan
pendidikanku di sekolah atau pesantren yang sama di tingkat Tsanawiyah (SMP). Walaupun, banyak dari teman-temanku yang putus ditengah jalan. Namun, aku tak mau seperti
mereka. Kemauanku yang kuat, serta motivasi dari kedua orang tua, menjadikanku terus
berjuang walau dengan keadaan ekonomi orang tuaku
yang pas-pasan. Kerena aku sangat tau apa yang mereka inginkan dariku. Pengorbanan
yang mereka persembahkan untuk membiayai pendidikanku laksana bara yang selalu
membakar semangatku dalam meraih mimpi-mimpi, membuat mereka tersenyum bangga
padaku.
Masih terekam kuat dalam memoriku,ketika suatu pagi aku ingin
berangkat ke sekolah.ketika itu parit yang lebarnya sekitar empat meter penuh
oleh air pasang.sedangkan jembatan yang hanya terbuat dari sebatang kayu yang
diletakkan dipermukaan parit itu hanyut terbawa arus. parit itu sebenarnya
tidak terlalu dalam,tapi bagiku yang saat itu masih kecil tentu aku tidak dapat
menyeberanginya.melihat kondisiku itu,ayahku yang mau berangkat ke kebunpun
menghampiriku dan menyuruhku melepaskan sepatu serta seragam sekolahku ia
menyuruhku memegang dan mengangkat sepatu,seragam serta tas sekolahku
setinggi-tingginya. beliau menyuruhku manaiki pundaknya kemudian beliau
membawaku menyeberangi parit itu,beliau relakan pakaian beliau basah kuyup
hanya demi melihat anaknya tetap bisa pergi ke sekolah hari itu.
Terkadang, ketika aku membutuhkan uang lebih untuk keperluan
sekolah, disetiap tahun ajaran baru, untuk membeli buku atau membayar SPP, ayahku
yang hanya berprofisi sebagai petani kebun kelapa kopra itu, tak segan-segan
mengambil upah kerja dikebun tetangga. Bahkan, sering beliau mengambil upah
menebang pohon di hutan. Seolah tak peduli dengan bahaya yang
menghadang. Seperti babi hutan, ular besar, bahkan harimau yang sangat ditakuti. Hanya
demi beberapa kertas rupiah untuk memenuhi keperluan sekolahku.
Beliau sangat bangga kepadaku. Ia selalu bercerita kepada
masyarakat dusun yang ia temui akan prestasiku di sekolah, ketika aku bisa
mempersembahkan juara kelas hampir setiap acara pembagian rapor
kepadanya. Beliau selalu bilang kepada mereka ” tahun ini anakku juara kelas lagi ”. Ia juga selalu bercerita kepada mereka akan menyekolahkanku sampai sarjana. Padahal, secara kasat mata manalah mungkin ia melakukannya dengan kondisi ekonomi
yang pas-pasan sperti itu. Sedangkan, biaya kuliah sarjana itu tidak murah. Tapi, entahlah. Beliau sangat yakin menyampaikan hal itu. Tanpa terlihat keraguan dalam
dirinya. Ternyata miskin harta tak menjadikannya miskin jiwa dan
semangat. Ia selalu memberikan wejangan kepadaku, ”Nak, kamu bisa lihat
kondisi bapak sekarang? Bapak hanya seorang petani kelapa kopra. Mengambil
upah menebang pohon di hutan. Teman sehari-hari bapak adalah kampak dan paran. Kantor
bapak hanya kebun dan hutan. Kamu tahu kenapa bapak seperti sekarang? Ini karena
pendidikan bapak hanya sampai kelas tiga sekolah dasar. Oleh karena itu, bapak tak mau apa yang terjadi pada bapak sekarang, juga terjadi padamu. Bapak
yakin, kamu mampu sampai sarjana. Bapak akan berusaha sekuat yang bapak bisa
lakukan. Agar kamu tak seperti bapak. Bapak ingin melihatmu menjadi orang yang
sukses. Kerjamu hanya memegang sepatang pena. Temanmu hanya tumpukan kertas-kerta
dan buku-buku tebal dan kantormu di kota. Bukan dihutan seperti bapak sekarang.” Pesan inilah yang selalu
membakar semangatku.
Dipertengahan 2005, aku lulus sekolah menengah pertama. Tapi, karena latar
belakangku yang Terlahir Sebagai anak dusun. Menjadikanku bak katak dalam
tempurung. Tak punya wawasan yang luas tentang kehidupan diluar
sana. Jiwa dan alam pikiranku hanya berkutat di dusun dan desa tempat dimana aku
tinggal. Jangankan pergi rekreasi ke kota, beberapa dusun tetanggapun tak pernah aku
kunjungi. Hal inilah, yang menyebabkan aku pada awalnya tak ada keinginan lain
untuk meneruskan pendidikan SMA-ku, kecuali di pesantren tempat aku menyelesaikan
dua jenjang pendidikan formalku sebelumnya.
Namun, setelah mendengar
kabar ada beberapa temanku yang meneruskan pendidikan mereka ke pulau Jawa, membuat
aku iri. Keinginan seperti merekapun terbit dalam benakku. Tapi, keinginan itu
seolah hanya hayalan dalam diriku. Mana mungkin aku bisa seperti mereka. Dari
mana aku mendapatkan biaya untuk pergi kesana. Apakah orang tuaku mampu
memberikan pesangon setiap bulan untuk biaya pendidikanku di pulau Jawa nanti, jika ku paksakan untuk pergi kesana. Seribu pertanyaan terlintas dalam benakku
saat itu. Terlahir sebagai anak yang telah belajar mandiri sejak kecil, aku tak
mau membebani orang tuaku. Akhirnya, aku
meneruskan pendidikan Menengah Atas di sekolah yang sama. Keinginan merantau ke
ranah Jawa pun kusimpan dalam lubuk hati untuk sementara. Namun, rasa optimis
bisa mewujudkan impian itu tetap menyala dalam diriku.” apabila kamu memiliki
keinginan yang kuat maka bertawakkal-lah kepada allah ”. Dalam doa , kupasrahkan
asa itu kepada pemilik takdir kehidupanku, yang apabila ia berkehendak, tak
seorangpun mampu menghalanginya. Walaupun, secara kasat mata, aku tak mungkin
untuk merealisasikan mimpi itu. Tapi, dalam hati kecilku, aku selau yakin jika Allah merestui mimipi itu, pasti jalan akan terbentang luas di hadapanku. Dari
arah mana saja, tak ada yang mustahil bagiNya.
Seiring jarum jam yang terus berputar, mengubah hari menjadi
minggu, minggu berganti bulan, bulan berjumpa tahun. Kabar gembira itu datang
menemuiku. Ketika itu, aku sedang libur semester genap kelas dua aliyah. Libur itu
kugunakan untuk mengambil upah menggarap sawah milik tetangga. Petang itu aku
baru saja pulang dari sawah tersebut. Tiba-tiba, adik sepupuku datang ke rumah
menghampiriku. Dia katakan , kalau siang tadi, ketika aku di sawah, salah satu
ustadz mencariku, tanpa memberi tahu apa maksud beliau.
Keesokan harinya, ustadz yang diceritakan sepupuku tempo hari, berkunjung kerumahku. Ayah menyambutnya dengan ramah. Setelah aku menghampiri dan mencium tangan guruku itu. Kemudian, aku
disuruh duduk bersama mereka, di ruang tamu yang hanya beralas tikar lusuh itu. Ternyata, maksud kedatangan beliau
adalah untuk mengabarkan kepadaku. Bahwa, aku diangkat anak oleh salah satu
pejabat pemerintah kabupaten, yang
merupakan teman dekat ustadzku itu. Kata beliau, pejabat itu ingin
menyekolahkanku ke pulau Jawa.
Berita gembira ini, sontak membuat kedua kakiku lemas tak berdaya
sesaat. Tubuhku bergetar, menggigil seperti orang kedinginan. Ternyata do’a yang
ku panjatkan sejak aku duduk di bangku Tsanawiyah, lima tahun silam, diijabah
olehNya. Sungguh dahsyat, sebuah do’a yang dipanjatkan tanpa mengenal lelah dan
penuh keyakinan itu. Kini mimpi itu telah hadir di depan mata. Tinggal menunggu
keputusanku, apakah aku mau menangkap mimpi itu. Mimpi yang akan membawaku
terbang ke angkasa langit biru mengitari dunia.
Sebuah keputusan darikupun ditunggu. Aku yang saat itu telah duduk
di kelas dua aliyah, membuatku sedikit bimbang mengambil keputusan. Karena, sebentar lagi aku akan duduk di kelas tiga aliyah. Kelas akhir pendidikanku. Setahun
lagi aku akan lulus sebagai alumni pesantren tercinta itu. Namun, karena satu asa
untuk membuat kedua orang tuaku tersenyum bangga kepadaku, akupun mengiyakan tawaran
tersebut.
Tepat tanggal 20 juli 2007 jum’at sore, aku meninggalkan kampung
halaman tercinta, menuju ranah rantau di pulau Jawa. Kini tempurung yang menutupi
katak itu sudah dibuka. Sang katak pun dalam kebingungan menatap dunia barunya
yang ternyata sangat luas. Sebuah loncatan terjauh dalam hidupku. Awal
pengembaraanku menjelajah dunia. Perjalanan itu sangat berkesan bagiku. Bagaimana
tidak, aku laksana katak yang kebingungan itu kini menuju ibu kota
provinsi dengan perjalanan delapan jam menggunakan mobil yang dulunya tak
pernah terlintas dalam benakku. Semuanya serba pertama, pertama kali naik
mobil, pertama kali melakukan perjalanan terjauh menuju ibu kota; pertama kali
menginap di hotel berbintang, pertama kali naik pesawat. Pokoknya serba
pertama. Maklum, anak dusun.
Pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, membuat kebanggaan tersendiri dalam diriku. ”jakarta I’m
coming ” ucapku lirih. Perjalanan menuju penginapan di kota Jakarta memberikan persembahan
pemandangan luar biasa kepadaku. Hiruk pikuk kota Jakarta dan gedung-gedung
tinggi pencakar langit sekali lagi membangunkan sang katak yang masih dalam
kebingungan itu. Ternyata itu Monas, ternyata itu Istiqlal-masjid terbesar di
asia tenggara itu, dan ribuan ternyata lainnya. Setelah satu hari aku di salah
satu hotel ibu kota, kini aku pindah kesebuah apartemen yang tak jauh
dari hotel tersebut.
Setelah hampir satu minggu aku di Jakarta, akupun dihantar melanjutkan
perjalan menuju salah satu pesantren modern yang berada di kota Bogor. Tepatnya
perbatasan antara Bogor-Sukabumi. Sekitar jam tujuh malam aku menginjakkan kaki
untuk pertama kalinya di pesantren tercinta itu. Udara dingin khas kota Bogor
menyambut kedatanganku. Suasana megah pesantren yang dihiasi indahnya
lampu-lampu terang membuatku takjub. Jauh berbeda dengan pesantrenku di dusun
dulu. Lalu-lalang santriwan dan santriwati menumbuhkan semangat baruku untuk
segera bergabung dengan mereka, menimba ilmu di pesantren itu.
Keesokan harinya, status kesanterianku di pondok itupun dimulai. Hidup
dengan penuh disiplin peraturan, aktivitas yang terjadwal rapi oleh
bunyi bel yang menandakan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain full
time dua puluh empat jam; berbicara dengan bahasa Arab dan Inggris, berjibaku
dengan kitab dan kamus-kamus besar; belajar bagaimana berorganisasi dengan motto”siap
memimpin dan dipimpin” dan berbagai aktivitas lain layak seorang santri di
pesantren modern menjadi rutinitas harianku. Di pesantren baruku inilah aku
banyak belajar tentang makna kehidupan, dan di pesantren ini juga aku mengukir
mimpi baru untuk terbang lebih jauh mengejar mimpi keluar negeri. Berbekal
keyakinan doaku yang dijawab oleh Allah sampai aku bisa mondok di pulau Jawa
ini. Tanpa ragu sedikitpun aku kembali memunajat, mengirim doa kepadaNya agar aku
diberi kesempatan sekali lagi untuk meneruskaan pendidikanku keluar negeri.
Sekali lagi, jarum jam yang berputar cepat telah menghantarkanku
di hari yang paling kutunggu selama empat tahun nyantri di kota hujan. Hari
itu tak lain ialah wisuda santri
angkatan sepuluh. Tepat pada tanggal 28 mei 2011, aku diwisuda. Pencarian informasi
beasiswa keluar negeripun semakin aktif kulakukan. Mulai dari mengirim surat ke beberapa
kedutaan besar Negara timur tengah yang ada di Jakarta sampai ikut tes langsung
dengan tujuan beberapa Negara yang menyediakan beasiswa ke Negara mereka
Kerja kerasku akhirnya memberikan hasil yang manis, Allah memang
maha mendengar. Sekali lagi, doa yang selalu kupanjatkan kehadiratNya dalam
setiap sujudku kembali dikabulkan. Satu mimpiku kembali ia restui. Kuliah keluar
negeri. Tiga bulan yang lalu aku terbang menuju tanah kelahiran sang pengembara
muslim dunia Ibnu Batuthah. Maroko atau Maghribi, Negeri yang disebut Matahari Terbenam yang juga dijuluki Negeri Seribu Benteng. Sungguh dahsyat sebuah mimpi
yang selalu disertai dengan kerja keras dan doa yang penuh keyakinan. Oleh
kerena itu, teruslah bermimpi setinggi-tingginya, kawan. Karena Allah selalu
mendengar mimpi-mimpimu, dan akan merestui satu persatu dari ribuan mimpi itu, jika kau sertai dengan kerja keras dan doa penuh keyakinan kepadanya.
Cerita ini telah di muat di:http://motivasibeasiswa.org/2012/01/herdiansyah-el-smdsh-ihsan-mimpi-doa-kerja-keras-semuanya-menjadi-mungkin/
2 komentar:
subhanallah.... amazing kisahnya,,,
syukron atas kesedian berkunjung dan apriasinya mba,,!
Posting Komentar
kritik dan saran yang konstruktif selalu kami tunggu dari para pembaca yang budiman,,,,,!!!